KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah Swt, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat
dan salam tidak lupa kami kirimkan selalu kepada baginda tercinta Nabi Muhamad
Saw, sahabat, keluarga dan semua umatnya. Amiin
Makalah ini menjelaskan tentang “Mufassir dan Tafsirnya”, yang
disusun untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur Mata Kuliah Sejarah
Perkembangan Tafsir. Dalam penyusunan makalah ini, kami mendapat berbagai
tantangan dan hambatan. Akan tetapi, dengan bantuan dan dukungan beberapa pihak
tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan
dukungan dalam penyusunan makalah ini, terutama kepada Dosen Pengampu Mata
Kuliah Hadits Seni Budaya yang selalu memberikan arahan dan masukannya, semoga
mendapat balasan yang setimpal dari Allah Swt.
Kami menyadari makalah ini jauh dari kata kesempurnaan, baik dari
segi materi maupun penyusunannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun kami harapkan dari semua pihak untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua. Akhirnya kepada Allah jualah kami serahkan semua pengorbanan serta
perjuangan, demi langkah dan ayunan tangan kami semoga senantiasa mendapatkan
rahmat dan maghfirah-Nya.
Amin ya rabbal ‘alamin
Cirebon,
02 November 2016
Pemakalah
A.
Latar
Belakang
Tafsir menjadi
sesuatu yang agung dalam ajaran islam, karena memang sangat erat terkait dengan
interpretasi Al qur’an yang akan banyak mempengaruhi umat muslim pada segala
aspek, baik itu dalam bidang aqidah, fiqh, moral, ideology, dan praktik praktik
syariat vertical maupun horizontal.
Namun meski
demikiant, interpretasi Al Qur’an yang di anggap umat muslim adalah sacral,
maka penulis mencoba menulis batasan batasan untuk sesorang dianggap layak
menjadi Mufassir. Demikian itu karena untuk keihkyiatan / ke hati hatian dalam
menjadikan al qur’an sebagai pedoman, agar tidak salah dalam membumikan firman
Allah SWT dalam amalan kita sehari hari.
A.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
seseorang dianggap layak untuk menjadi Mufassir ?
2.
Ilmu
apa saja yang harus di kuasai oleh Mufassir ?
3.
Bagaimana
pengelompokan Tafsir sesuai metode penafsirannya ?
B.
Tujuan
Penelitian
1.
Untuk
mengetahui kriteria menjadi sosok Mufassir yang layak.
2.
Untuk
mengetahui ilmu apa saja yang harus di kuasai Mufassir.
3.
Untuk
mengetahui Aliran Aliran Tafsir
C.
Metode
Penelitian: Pustaka
Pembahasan
A.
Prinsip-Prinsip Dasar
Mufassir
Para ahli menggunakan beberapa istilah
untuk menjelaskan prinsip-prinsib dasar tafsir. Di antaranya adalah Shurut
al-mufassir, adab al-Mufassir dan Ummahat
ma’akhi al-tafsir . Istilah-istilah tersebut digunakan secara parsial,
tidak disistemasikan secara tegas dalam topik prinsip-prinsip dasar tafsir
(asas al-tafsir ). Karenanya, diperlukan media secara metodologis untuk
memahaminya secara komprehensif. Penulis berikhtiar untuk menyajikan
prinsip-prinsip dasar tafsir dengan meng-klasifikasikannya ke dalam empat
bagian, yakni: (1) aspek metodologis (prosedur), (2) ilmu-ilmu yang diperlukan,
(3) kriteria /kualifikasi personalitas, dan (4) etika.
Pertama, aspek metodologis (prosedur):
1) Menafsirkan, lebih dulu, al-Qur’an
dengan al-Qur’an.
2) Mencari penafsiran dari al-Sunnah.
3) Meninjau pendapat para sahabat.
4) Memeriksa pendapat tabi’in.
Kedua, ilmu-ilmu yang diperlukan: (1)
Bahasa, (2) Nahwu, (3) Tasrif , (4) Ishtiqaq, (5) Ma’aniy (6) Bayan, (7) Badi‘,
(8) Qira’ah, (9)Usul al-Din, (10)Usul al-Fiqh, (11) Asbab al-Nuzul, (12)
Nasikh-Mansukh, (13)Fiqh, (14) Hadis-hadis tentang penafsiran lafal mujmal dan mubham,
dan (15) Mawhibah.
Ketiga, kriteria/kulalifikasi personalitas:
Seorang mufassir disyaratkan memenuhi kriteria: (1) berakidah yang benar, (2)
bersih dari hawa nafsu, (3) berpengetahuan bahasa Arab, dengan segala
cabangnya, (4) berpengetahuan bahasa, (5) berpengetahuan pokok-pokok ilmu yang
berkaitan dengan al-Qur’an, (6) berkemampuan pemahaman yang cermat.
Berbeda halnya dengan pandangan Khalid ‘Abd
al-Rahman al-‘Ak, ada limabelas syarat bagi mufassir, yang justru lebih
mencerminkan kemampuan ilmu-ilmu yang diperlukan bagi penafsiran, bukan kualifikasi
personalitas. Ini lebih dekat pada komposisi keilmuan yang ditawarkan oleh
al-Hasaniy pada poin ketiga berikut.
Keempat, etika.
(1) Berniat baik dan bertujuan benar,
(2) berakhlak baik, (3) taat dan beramal,
(4) berlaku
jujur dan teliti dalam penukilan,
(5) tawaddu’,
(6) berjiwa mulia,
(7) vokal dalam menyampaikan kebenaran,
(8) berpenampilan baik,
(9) bersikap tenang dan mantap,
(10) mendahulukan orang lain yang lebih
utama daripada dirinya,
(11) mempersiapkan dan menempuh
langkah-langkah penafsiran secara baik.
Khusus aspek
ketiga dan keempat, pemisahan antara keduanya didasarkan pada alasan
substantif-tipikal masingmasing. Aspek kualifikasi personal merupakan segi
statis yang bercirikan kedirian (individualisasi) mufassir. Sementara aspek
etika merupakan segi dinamis dalam interaksi kedirian mufassir dengan pihak di
luarnya. Apabila keempat aspek tersebut disimplifikasikan, maka aspek pertama
dan kedua dapat disatukan kedalam aspek tafsir (metodologis), sedangkan aspek
ketiga dan keempat kedalam aspek mufassir.
B.
Aliran Aliran Tafsir
a.
Tafsir Bil Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsiran ayat dengan ayat;
penafsiran ayat dengan hadits SAW. yang menjelaskan makna
sebagian ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat; atau
penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat; atau penafsiran
ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in. Semakin jauh rentang zaman
dari masa Nabi dan sahabatnya, maka pemahaman umat tentang makna-makna
ayat al-Qur’an semakin bervariasi dan berkembang.
Tafsir Ibn Katsir karya Ibnu Katsir,.
b.
Tafsir Bil Ra’yi
Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad,
terutama setelah seorang penafsir itu betul-betul mengetahui perihal
bahasa Arab, asbab al-Nuzul, nasikh mansukh, dan hal-hal lain yang
diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir.
Contoh Tafsirnya adalah : Kitab Kaifa Nata amal Maal Quranil Adzim
karangan Yusuf Al Qordowi, Tafsir
Jalalain karangan Imam Jalaludin As suyuthi dan Imam Jalaludin Al mahali.
c.
Tafsir Fiqhi
Berbarengan dengan lahirnya al-Tafsir bi al Ma’tsur, lahir
pula Tafsir al-Fiqhi, yaitu mencari keputusan hukum dari al-Qur’an
dan berusaha menarik kesimpulan hukum syari’ah berdasarkan
ijtihad, dan sama-sama dinukil dari Nabi SAW. tanpa perbedaan
antara keduanya.
Contoh : Tafsir karya Imam Asyinqithi, Tafsir AL Jami li Ahkami Al Qur’an
karangan Al Qurthubi,
d.
Tafsir Shufi
Seiring dengan semakin meluasnya cakrawala budaya dan
berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, Tasawuf pun berkembang
dan membentuk kecenderungan para penganutnya menjadi dua arah
yang mempunyai pengaruh di dalam penafsiran al-Qur’an al-Karim,
yaitu:
1). Tasawuf Teoritis, yaitu meneliti dan mengkaji al-Qur’an
berdasarkan teori-teori mazhab dan sesuai dengan ajaran mereka.
2). Tasawuf Praktis, yaitu tashawuf yang mempraktekkan gaya
hidup sengsara, zuhud, dan meleburkan diri di dalam ketaatan
kepada Allah SWT.
Corak tafsir semacam ini bukanlah hal baru di dalam sejarah
tafsir, melainkan sudah di kenal sejak turunnya al-Qur’an di masa
Rasulullah SAW.
Contoh dari Tafsir tersebut adalah Tafsir Taj Al tafasir
karangan Al mirghani
e.
Tafsir Ilmi
Yang dimaksud dengan tafsir falsafi (al-tafsir al-falsafi) ialah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan
pendekatan logika atau pemikiran filsafat yang bersifat liberal dan radikal.26
Sebagaimana telah disinggung bahwa latarbelakang lahirnya berbagai corak tafsir
itu karena tersebarluasnya dan bertemunya aneka budaya. Di tengahtengah
pesatnya perkembangan ilmu dan budaya ini, gerakan penerjemahan tumbuh dan giat
dilaksanakan di masa Dinasti Bani Abbas. Berbagai sumber perbendaharaan ilmu
digali, dan aneka macam pustaka diterjemahkan, termasuk buku-buku filsafat
karya para filosof Yunani.Menurut al-Farmawi, Kajianal-Tafsir al-Ilmi ini,
adalah:
Pertama, termasuk dalam katagori kajian Tafsir Tematik (Maudhu’i), yang
membahas topik atau masalah-masalah menarik dewasa ini; dan hukum membahasnya
adalah sama dengan hukum membahas Tafsir Tematik tersebut. Kedua, kajian
al-Tafsir al-Ilmi ini dapat diterima dan dibolehkan; sepanjang tidak ada
pemaksaan terhadap ayat-ayat dan tidak memperkosa lafadz-lafadznya, dan tidak
memaksa diri secara berlebih-lebihan untuk mengangkat maknamakna ilmiah dari
ayat tersebut. Apabila kajian tafsir al-Ilmi ini tidak dilakukan sesuai dengan
prinsip-prinsip di atas, maka kajian tersebut harus ditolak bentuk dan isinya.
Contoh Tafsirnya adalah : Kitab Kaifa Nata amal Maal Quranil Adzim
karangan Yusuf Al Qordowi
f.
Tafsir Falsafi
Yang dimaksud dengan tafsir falsafi (al-tafsir
al-falsafi) ialah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan logika
atau pemikiran filsafat yang bersifat liberal dan radikal. Sebagaimana telah
disinggung bahwa latarbelakang lahirnya berbagai corak tafsir itu karena
tersebarluasnya dan bertemunya aneka budaya. Di tengahtengah pesatnya
perkembangan ilmu dan budaya ini, gerakan penerjemahan tumbuh dan giat
dilaksanakan di masa Dinasti Bani Abbas. Berbagai sumber perbendaharaan ilmu digali,
dan aneka macam pustaka diterjemahkan, termasuk buku-buku filsafat karya para
filosof Yunani.
Contoh dari Tafsir tersebut adalah Jamiul bayan fi
tafsiril qur’an karangan Muhammad Ibn jarir at thabari, Tafsir Al Kasyaf
karangan Imam Al jamakhsyari, Tafsir Al Mizan karangan Al thobat-thabai.
g.
Tafsir Adabul Ijtimai
Corak tafsir ini berusaha memahami nash-nash al Qur’andengan
cara, pertama dan utama, mengemukakan ungkapan ungkapan al-Qur’an secara
teliti; selanjutnya menjelaskan makna makna yang dimaksud oleh al-Qu’an
tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik. Kemudian pada langkah
berikutnya, penafsir berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang tengah
dikaji dengan kenyataan sosial dan sistim budaya yang ada.
Contoh
dari Tafsir tersebut adalah Tafsir Al Manar karangan Muhammad Abduh , Rosyid
Ridha, dkk. Tafsir Al Maraghi karangan Al Maraghi, The Holy Qur’an karangan A.
Yusuf Ali