Terdapat dlam sanad (abu Kamil al-Jahdari) dengan
menfatahkan Jim dan mensukunkan ha
muhammalah dan menfatahkan dal. Nama aslinya adalah Fudhail bin Husain
disandarkan kepada nama kakeknya (Jahdari). Keterangan nama tersebut telah dijelaskan sebbelumnya. Dalam sanad ini
pula terdapat nama Abu ‘Awanah nama aslinya adalah Wadlah bin Abdillah. Sabda
NAbi Muhammad Saw لا يقبل الله صلاة بغير طهور ولا صدقة من
غلول
Hadits ini bercerita
tentang nash wajibnya thaharah dalam shalat. Sebagaimana telah kita ketahui
bersama bahwa thaharah adalah salah satu sarat sahnya shalat, akan
tetapi kapan difardhukannya wudlu dalam shalat masih menjadi perdebatan.
Sebagaimana pendapat al-Qadhi bahwa Ibnu Jahm berangapan bahwa wudlu diawal masuknya
islam adalah sunah meskipun untuk shalat, namun kefardhuan wudhuh ini muncul
setelah turunya ayat tayamum. Masih menurut al-Qadhi , JUmhur ulama berpendapat
bahwa jauh sebelum turunya ayat tentang tayamum, sejatinya wudlu dalam shalat
sudah menjadi fardhu.
Al-Qadhi juga
mengatakan, bahwa kefardhuan wudlu untuk shalat juga masih diperdebatkan,
apakah kewajiban wudlu adalah untuk setiap shalat ataukah hanya untuk orang-orang
yang berhadats yang hendak melaksanakan shalat? Pendapat ulama salaf mengatakan
bahwa wudlu wajib untuk setiap shalat dengan dalil yangn digunakan adalah
sebagai berikut:
قوله نعالى : اذا قمنم الى الصلاة ....الاية
Namun ada juga yang
berpendapat bahwa kewajiban wudlu untuk setiap shalat sudah dinasakh, pendapat
lain juga mengatakan bahwa wudlu untuk setiap shalat adalah sunah karena yang
wajib berwudlu adlaah orang-orang yang berhdats saja, maka memperbaharui wudlu
hanyalah sunah. Kesimpulanya pendapat tentang kewajiban berwudlu ada tiga:
1.
Bahwa wudlu wajib hanya untuk orang yang berhadats.
2.
Tidak wajib kecuali ketika ingin melaksanakan shalat.
3.
Wajib karena berhadats dan hendak melaksanakan shalat.
Pendapat
terakhir merupakan yang diunggulkan dikalangan ulama.
Kebanyakan
ulama berpendapat bahwa melakukan shalat (wajib/sunah) tanpa bersuci adalah
haram, begtu pula sama haramnya ketika melakukan sujud syukur, sujud tilawah,
dan shalat jenazah tanpa bersuci. Namun Imam al-Sya’bi dan Muhammad bin Jarir
Al-Thabari mmpunyai pandangan yang berbeda mereka memperbolehkan shalat jenazah
tanpa bersuci, namun pendapat mereka diangap madzhab yang bathil.
Kebanyakan
ulama berpendapat bahwa orang yang berhadats dengan sengaja melakukan shalat
tanpa bersuci adalah sebuah dosa, tetapi tidak sampai kepada derajat kufur.
Akan tetapi Abu Hanifah memberikan pandangannya dengan megatakan bahwa orang
yang berhadats dan melakukan shalat dengan sengaja adalah kufur dengan dalil
memepermainkan akidah
Apabila
ada udzur harus shalat dalam keadaan berhadats (tidak ada/tanah) maka ada empat
pendapat sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi’i:
1.
Wajibnya shalat pada waktu itu, dan wajib pula mengulang shalatnya
ketika keadaan memungkinkan untuk bersuci.
2.
Haram shalat pada waktu itu, tetapi wajib qadha.
3.
Disunahkan untuk shalat pada waktu itu dan diwajibkan qadha.
4.
Jika shalat pada waktu itu maka tidak wajib qadha.