Friday, December 2, 2016

Ikhtilaf Hadist ,




Dengan mengujar syukur kepada tuhan yang maha kuasa, dengan mengucap kata syukur alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah Ikhtilaf hadist ini. Makalah dengan segala keterbatasan ini akhirnya selesai dengan ijin tuhan yang maha kuasa.
Ikhtilaf Hadist adalah sesuatu yang selalu menarik perhatian karena dianggapya bahwa ada beberapa hadist yang bertentangan satu sama lain, maka wahyu yang bertentangan adalah banyak menimbulkan pertanyaan. Bagaimana bisa satu pedoman hidup bertentangan dengan pedoman hidup yang lain .
Maka dari itu, kami mencoba mengambil satu contoh konkrit yang sudah di bahas Imam As-Syafii dalam kitabnya, kami mengambil hadist yang menerangkan bacaan dalam rakaat shalat.
Dengan segala kerendahan hati, kami selaku penulis tentunya sangat sadar akan keterbatasan ilmu yang kami sajikan di makalah ini. Kami sangat meminta maaf yang sebesar besarnya atas itu semua. Namun demikian, kami sangat membuka jika ada masukan yang bisa membuat kami lebih baik di kemudian hari.
Meski terkurung keterbatasan ilmu, kami tetap optimis bahwa buku ini bisa berguna, semoga bermanfaat.












Cirebon, 18 April 2016
Hormat kami,
Penulis


PENDAHULUAN
a.       Latar Belakang

Ikhtilaf hadist selalu menuai berbagai macam persepsi di dalamnya, baik itu dengan cara mengunggulkan salah satu karena sanadnya, atau dengan cara mengkompromikannya satu sama lain sesama hadist. Ikhtilaf hadist sangat masyhur sejak dari dulu, bukan tanpa sebab, karena memang menjadi akan aneh jika ada hadist yang bertentangan satu sama lain jika kedua hadist itu berlaku sama kuat hukumnya dalam kehidupan yang dijalani masa sekarang.

b.      Tujuan Pembelajaran

Tujuan pembuatan makalah ikhtilaf hadist ini, tentunya selain untuk memenuhi tugas mata kuliah juga diharap mendatangkan manfaat.
Diharapkan dari makalah ini adalah kita dapat mengetahui bagaimana cara Imam As-Syafi’i mensiasati perbedaan ini dengan jalan keluar yang simple dan tepat sasaran. Bahkan dengan cara yang akan kami terangkan di bawah ini nyaris seperti hadist yang tidak bertentangan sama sekali.
























PEMBAHASAN
A.    Ikhtilaf Hadist Dalam Bacaan Shalat
Berikut akan di tampilkan beberapa contoh hadist yang dianggap bertentangan dalam masalah bacaan shalat :
باب القراءة في الصلاة
أخبرنا الشافعي قال أخبرنا سفيان عن مسعر عن الوليد بن سريع عن عمرو بن حريث قال سمعت النبي يقرأ في الصبح " والليل إذا عسعس "
Telah mengabarkan As-Syafi’i, As-Syafi’i berkata :telah mengkabarkan sufyan dari مسعر dari al-walid bin sari’ dari umar bin haris berkata: saya telah mendengar Nabi Muhammad Saw membaca pada waktu sholat subuh والليل إذا عسعس
(قال الشافعي) يعنى يقرأ في الصبح " إذا الشمس كورت " أخبرنا سفيان عن زياد ابن علاقة عن عمه قال سمعت النبي عليه السلام في الصبح يقرأ " والنخل باسقات "
Imam Asy-Syafi’i telah berkata: yaitu membaca waktu sholat subuh إذا الشمس كورت .
Telah mengkabarkan pada kami sufyan bin ziyad dari ibnu ‘Alaqoh dari ‘Ammah berkata: saya telah mendengar bahwa Nabi Muhammad Saw membaca والنخل باسقات pada sholat subuh.
(قال الشافعي) يعنى: " ق " أخبرنا مسلم وعبد المجيد عن ابن جريج قال أخبرنا محمد بن عباد بن جعفر قال أخبرنا أبو سلمة بن سفيان وعبد الله بن عمرو العائذى عن عبد الله بن السائب قال صلى لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم الصبح بمكة فاستفتح بسورة " المؤمنين " حتى إذا جاء ذكر موسى وهرون أو ذكر عيسى أخذت النبي سعلة فحذف فركع قال وعبد الله ابن السائب حاضر ذلك
Imam As-syafii berkata: yakni surat                 
 " ق "
Dikabarkan dari Imam Muslim dan Abdul Majid, di terima dari Ibn Jarih, Ibn Jarih berkata mengabarkan kepada kami Muhammad Bin Ibad Bin Ja’far, beliau berkata bahwa dikatakan Abu Salamah Bin Sufyan dan Abdullah Bin Umar dan Aidzi, di terima dari Abdullah Bin Saib, beliau berkata : “Kami shalat subuh bersama Rasulullah SAW di mekkah, beliau membuka shalat dengan surat
 " المؤمنين " hingga kalimat ذكر موسى وهرون atau ذكر عيسى 
lalu nabi mengambil sorbannya dan melemparkannya, kemudian rukuk, dan dikatakan bahwa Abdullah Bin Saib ada di sana (melaksanakan shalat bersama Nabi).

B.     Penyelesaian
Penyelesaiannya adalah sebagai berikut, sebagaimana yang di tuturkan imam As-Syafii itu sendiri dalam kitabnya yakni      :

(قال الشافعي) وليس نعد شيئا من هذا اخلافا لانه قد صلى الصلوات عمره فيحفظ الرجل قراءته يوما والرجل قراءته يوما غيره وقد أباح الله في القرآن بقراءة ما تيسر منه وسن رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يقرأ " بأم القرآن " وما تيسر فدل على أن اللازم في كل ركعة قراءة أم القرآن وفى الركعتين الاوليين ما تيسر معها.

Imam As-syafi’i berkata : “Tiada kerancuan dalam perbedaan hadist ini, karena sesungguhnya nabi menjaga bacaan setiap golongan di harilain, dan menjaga yang lainnya di harilain. Sesungguhnya allah telah membolehkan untuk membaca bacaan yang mudah dari al qur’an, adapun sunnah rosulnya yakni membaca “umu al-qur’an” dan yang sudah biasa di lafalkan. Di setiap rakaat di haruskan membaca “umu al-qur’an” dan di dua rakaat awal di sertakan bacaan yang mudah.”
Dalam uraian di atas, nampak ikhtilaf hadist yang mana satu hadist menjelaskan bahwa dalam shalat subuh yang harus di baca adalah surat surat tertentu ( telah di paparkan di atas), namun sesungguhnya ikhtilaf ini tidaklah rancu sama sekali, karena sifat membaca surat di dua rakaat awal (selain al fatihah) adalah boleh yang mana saja di sesuaikan dengan kemudahan masig masing. Bahkan ini berlaku untuk shalat yang lain. Jadi langkah yang diambil oleh Imam As-syafii adalah dengan mengkompromikan hadist hadist tersebut, istilah kompromi hadist ini juga masyhur dengan sebutan”Jam’u
























PENUTUPAN
Ikhtilaf Hadist dalam hal bacaan shalat pernah menjadi kajian yang dianggap penting di masa nya, tentunya karena memang belum tersusunnya fiqh seperti di zaman sekarang ini, sehingga belum ada klasifikasi mana hal muba, sunnah, dan wajib, karenanya di makalah ini kami sajikan pandangan masa lalu tentang bacaan shalat.
Namun kami selaku pemakalah pula sangat meminta maaf dengan segala keterbatasannya isi yang di sajikan dalam isi makalah ini. Dengan referensi yang tentu kurang memuaskan karena kutipannya hanya dari satu kitab. Dengan tidak sedikitupun mengurangi rasa hormat kami terhadap penulisan karya ilmiah, kami memohon maaf yang sebesar besarnya.








teuing nang saha

Saturday, November 26, 2016

TAFSIR AL MUHARRAR AL WAJIZ



Ahmad Jalaludin Amin
1414341077


Menurut wawancara yang saya lakukan kepada Ust. Muslim dari daerah Majalengka yang bertempat tinggal di desa Ampel Ligung, beliau seorang alumni pondok pesantren Conggeang Cipicung Sumedang.

Mengutarakan bahwa alasan dulu pernah mengkaji kitab ini karena pas dia datang kepondoknya sudah mengkaji kitab Al Wajiz ini. Jadi sudah menjadi jadwal tetap didalam agenda pengajian pesantrenya itu.

Ia juga memberi penjelasan tentang kitab ini bahwa Pengarang dari kitab Al-Wajiz ini Pengarangnya adalah Abu Muhammad, Abdul Haq bin Ghalib bin ‘Athiyyah al-Andalusi, al-Hafizh, al-Qadhi, al-‘Allamah. Beliau juga mengatakan bahwa pengarang menamakan kitab tafsirnya itu ‘al-Wajiz Fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz’.

Pengarang juga meringkasnya dari semua kitab-kitab tafsir (yakni Tafsir al-Manqul) dan selalu mencari yang lebih dekat kepada keshahihan dari kitab-kitab tersebut, menafsirkan ayat dengan gaya bahasa yang manis dan mudah serta banyak sekali menukil dari Ibn Jarir (ath-Thabari).

Beliau pengarang adalah seorang Mu’awwil Asy’ari (suka menakwil ayat, berpaham Asyariah), membela takwil yang dilakukan Imam al-Asy’ari dan berargumentasi dengannya. Narasumber juga menyinggung tentang hadist dan sanad bahwasanya sang Mualif mengetengahkan perkataan-perkatan yang Ma’tsur tanpa menyebutkan sanad-sanadnya, dan memilih darinya dengan tanpa memperbanyaknya, terkadang melemahkan sebagiannya.

Mualif menyebutkan pendapat-pendapat ulama fiqih dari kalangan Salaf dalam masalah fiqih, mengarahkannya dan memilih darinya apa yang menurut pandangannya benar, menguatkannya dengan tanpa memperpanjang lebar atau mengurangi. Beliau juga menyebut ijma’ ulama dalam hal itu, bila ada.

Setelah berbincang begitu alot terahir, Narasumber menyatakan bahwa sang Mualif termasuk ahli Nahwu yang amat kompeten, selalu merujuk kepada bahasa Arab ketika mengarahkan sebagian makna. Beliau sangat memperhatikan produk-produk Nahwu, penyebutan Syawahid Adabiyyah (pendukung-pendukung yang diambil dari bait-bait syair/sastra) untuk ungkapan-ungkapan tertentu.

Narasumber juga memberikan penjelasan terhadap kami mengenai sang Mualif tentang aqidahnya, agar sedikit menambahkan redaksi Narasumberpun mencari informasi tentang aqidah sang Mualif ini bahwasanya sang Mualif menceritakan bahwa Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah mengomentari mengenainya, “Tafsir Ibn ‘Athiyyah dan semisalnya lebih mengikuti as-Sunnah dan al-Jamaah serta lebih selamat dari bid’ah ketimbang tafsir az-Zamakhsyari.



Andaikata ia menyebutkan ucapan para ulama Salaf yang terdapat di dalam tafsir-tafsir bil Ma’tsur dengan semestinya tentu lebih baik dan bagus, sebab banyak sekali ia menukil dari tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thabari -yang merupakan kitab tafsir bil Ma’tsur paling agung dan paling berkualitas.

Hanya saja, kemudian ia meninggalkan nukilan Ibn Jarir dari ulama Salaf, tidak meriwayatkannya sama sekali! Lalu menyebutkan apa yang diklaimnya sebagai ucapan Muhaqqiqin (ulama peneliti). Yang dimaksudnya mengenai mereka itu adalah kelompok Ahli Kalam yang menetapkan pokok-pokok pemikiran mereka dengan cara yang sejenis dengan penetapan ala kaum Mu’tazilah terhadap pokok-pokok pemikiran mereka. Sekali pun, mereka lebih dekat kepada as-Sunnah ketimbang Mu’tazilah. Setelah berbincang begitu lama-lama dan kopi pun telah memuncak pada aspal dasar ampasnya kita langsung akhiri perbincangan ini dengan Waalluh`alam bii shoab.


Makalah “Mufassir dan tafsirnya”



KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah Swt, karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat dan salam tidak lupa kami kirimkan selalu kepada baginda tercinta Nabi Muhamad Saw, sahabat, keluarga dan semua umatnya. Amiin
Makalah ini menjelaskan tentang “Mufassir dan Tafsirnya”, yang disusun untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur Mata Kuliah Sejarah Perkembangan Tafsir. Dalam penyusunan makalah ini, kami mendapat berbagai tantangan dan hambatan. Akan tetapi, dengan bantuan dan dukungan beberapa pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam penyusunan makalah ini, terutama kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah Hadits Seni Budaya yang selalu memberikan arahan dan masukannya, semoga mendapat balasan yang setimpal dari Allah Swt.
Kami menyadari makalah ini jauh dari kata kesempurnaan, baik dari segi materi maupun penyusunannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun kami harapkan dari semua pihak untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhirnya kepada Allah jualah kami serahkan semua pengorbanan serta perjuangan, demi langkah dan ayunan tangan kami semoga senantiasa mendapatkan rahmat dan maghfirah-Nya.
Amin ya rabbal ‘alamin
                                                            Cirebon, 02 November 2016

Pemakalah


A.    Latar Belakang
Tafsir menjadi sesuatu yang agung dalam ajaran islam, karena memang sangat erat terkait dengan interpretasi Al qur’an yang akan banyak mempengaruhi umat muslim pada segala aspek, baik itu dalam bidang aqidah, fiqh, moral, ideology, dan praktik praktik syariat vertical maupun horizontal.
Namun meski demikiant, interpretasi Al Qur’an yang di anggap umat muslim adalah sacral, maka penulis mencoba menulis batasan batasan untuk sesorang dianggap layak menjadi Mufassir. Demikian itu karena untuk keihkyiatan / ke hati hatian dalam menjadikan al qur’an sebagai pedoman, agar tidak salah dalam membumikan firman Allah SWT dalam amalan kita sehari hari.
A.    Rumusan Masalah

1.      Bagaimana seseorang dianggap layak untuk menjadi Mufassir ?
2.      Ilmu apa saja yang harus di kuasai oleh Mufassir ?
3.      Bagaimana pengelompokan Tafsir sesuai metode penafsirannya ?

B.     Tujuan Penelitian

1.      Untuk mengetahui kriteria menjadi sosok Mufassir yang layak.
2.      Untuk mengetahui ilmu apa saja yang harus di kuasai Mufassir.
3.      Untuk mengetahui Aliran Aliran Tafsir

C.     Metode Penelitian: Pustaka






Pembahasan
A.      Prinsip-Prinsip Dasar Mufassir
Para ahli menggunakan beberapa istilah untuk menjelaskan prinsip-prinsib dasar tafsir. Di antaranya adalah Shurut al-mufassir, adab al-Mufassir  dan Ummahat ma’akhi al-tafsir . Istilah-istilah tersebut digunakan secara parsial, tidak disistemasikan secara tegas dalam topik prinsip-prinsip dasar tafsir (asas al-tafsir ). Karenanya, diperlukan media secara metodologis untuk memahaminya secara komprehensif. Penulis berikhtiar untuk menyajikan prinsip-prinsip dasar tafsir dengan meng-klasifikasikannya ke dalam empat bagian, yakni: (1) aspek metodologis (prosedur), (2) ilmu-ilmu yang diperlukan, (3) kriteria /kualifikasi personalitas, dan (4) etika.
Pertama, aspek metodologis (prosedur):
1) Menafsirkan, lebih dulu, al-Qur’an dengan al-Qur’an.
2) Mencari penafsiran dari al-Sunnah.
3) Meninjau pendapat para sahabat.
4) Memeriksa pendapat tabi’in.
Kedua, ilmu-ilmu yang diperlukan: (1) Bahasa, (2) Nahwu, (3) Tasrif , (4) Ishtiqaq, (5) Ma’aniy (6) Bayan, (7) Badi‘, (8) Qira’ah, (9)Usul al-Din, (10)Usul al-Fiqh, (11) Asbab al-Nuzul, (12) Nasikh-Mansukh, (13)Fiqh, (14) Hadis-hadis tentang penafsiran lafal mujmal dan mubham, dan (15) Mawhibah.
Ketiga, kriteria/kulalifikasi personalitas: Seorang mufassir disyaratkan memenuhi kriteria: (1) berakidah yang benar, (2) bersih dari hawa nafsu, (3) berpengetahuan bahasa Arab, dengan segala cabangnya, (4) berpengetahuan bahasa, (5) berpengetahuan pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an, (6) berkemampuan pemahaman yang cermat.
 Berbeda halnya dengan pandangan Khalid ‘Abd al-Rahman al-‘Ak, ada limabelas syarat bagi mufassir, yang justru lebih mencerminkan kemampuan ilmu-ilmu yang diperlukan bagi penafsiran, bukan kualifikasi personalitas. Ini lebih dekat pada komposisi keilmuan yang ditawarkan oleh al-Hasaniy pada poin ketiga berikut.
Keempat, etika.
(1) Berniat baik dan bertujuan benar,
(2) berakhlak baik, (3) taat dan beramal,
(4) berlaku  jujur dan teliti dalam penukilan,
(5) tawaddu’,
(6) berjiwa mulia,
(7) vokal dalam menyampaikan kebenaran,
(8) berpenampilan baik,
(9) bersikap tenang dan mantap,
(10) mendahulukan orang lain yang lebih utama daripada dirinya,
(11) mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik.

Khusus aspek ketiga dan keempat, pemisahan antara keduanya didasarkan pada alasan substantif-tipikal masingmasing. Aspek kualifikasi personal merupakan segi statis yang bercirikan kedirian (individualisasi) mufassir. Sementara aspek etika merupakan segi dinamis dalam interaksi kedirian mufassir dengan pihak di luarnya. Apabila keempat aspek tersebut disimplifikasikan, maka aspek pertama dan kedua dapat disatukan kedalam aspek tafsir (metodologis), sedangkan aspek ketiga dan keempat kedalam aspek mufassir.

B.      Aliran Aliran Tafsir

a.       Tafsir Bil Ma’tsur

Tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsiran ayat dengan ayat;
penafsiran ayat dengan hadits SAW. yang menjelaskan makna
sebagian ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat; atau
penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat; atau penafsiran
ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in. Semakin jauh rentang zaman
dari masa Nabi dan sahabatnya, maka pemahaman umat tentang makna-makna ayat al-Qur’an semakin bervariasi dan berkembang.

Tafsir Ibn Katsir karya Ibnu Katsir,.

b.      Tafsir Bil Ra’yi

Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad,
terutama setelah seorang penafsir itu betul-betul mengetahui perihal
bahasa Arab, asbab al-Nuzul, nasikh mansukh, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir.
Contoh Tafsirnya adalah : Kitab Kaifa Nata amal Maal Quranil Adzim karangan Yusuf Al Qordowi,  Tafsir Jalalain karangan Imam Jalaludin As suyuthi dan Imam Jalaludin Al mahali.


c.       Tafsir Fiqhi

Berbarengan dengan lahirnya al-Tafsir bi al Ma’tsur, lahir
pula Tafsir al-Fiqhi, yaitu mencari keputusan hukum dari al-Qur’an
dan berusaha menarik kesimpulan hukum syari’ah berdasarkan
ijtihad, dan sama-sama dinukil dari Nabi SAW. tanpa perbedaan
antara keduanya.

Contoh : Tafsir karya Imam Asyinqithi, Tafsir AL Jami li Ahkami Al Qur’an karangan Al Qurthubi,

d.      Tafsir Shufi

Seiring dengan semakin meluasnya cakrawala budaya dan
berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, Tasawuf pun berkembang
dan membentuk kecenderungan para penganutnya menjadi dua arah
yang mempunyai pengaruh di dalam penafsiran al-Qur’an al-Karim,
yaitu:
1). Tasawuf Teoritis, yaitu meneliti dan mengkaji al-Qur’an
berdasarkan teori-teori mazhab dan sesuai dengan ajaran mereka.
2). Tasawuf Praktis, yaitu tashawuf yang mempraktekkan gaya
hidup sengsara, zuhud, dan meleburkan diri di dalam ketaatan
kepada Allah SWT.
Corak tafsir semacam ini bukanlah hal baru di dalam sejarah
tafsir, melainkan sudah di kenal sejak turunnya al-Qur’an di masa Rasulullah SAW.

Contoh dari Tafsir tersebut adalah Tafsir Taj Al tafasir karangan Al mirghani

e.      Tafsir Ilmi

Yang dimaksud dengan tafsir falsafi (al-tafsir al-falsafi) ialah  penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan logika atau pemikiran filsafat yang bersifat liberal dan radikal.26 Sebagaimana telah disinggung bahwa latarbelakang lahirnya berbagai corak tafsir itu karena tersebarluasnya dan bertemunya aneka budaya. Di tengahtengah pesatnya perkembangan ilmu dan budaya ini, gerakan penerjemahan tumbuh dan giat dilaksanakan di masa Dinasti Bani Abbas. Berbagai sumber perbendaharaan ilmu digali, dan aneka macam pustaka diterjemahkan, termasuk buku-buku filsafat karya para filosof Yunani.Menurut al-Farmawi, Kajianal-Tafsir al-Ilmi ini, adalah: 
Pertama, termasuk dalam katagori kajian Tafsir Tematik (Maudhu’i), yang membahas topik atau masalah-masalah menarik dewasa ini; dan hukum membahasnya adalah sama dengan hukum membahas Tafsir Tematik tersebut. Kedua, kajian al-Tafsir al-Ilmi ini dapat diterima dan dibolehkan; sepanjang tidak ada pemaksaan terhadap ayat-ayat dan tidak memperkosa lafadz-lafadznya, dan tidak memaksa diri secara berlebih-lebihan untuk mengangkat maknamakna ilmiah dari ayat tersebut. Apabila kajian tafsir al-Ilmi ini tidak dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip di atas, maka kajian tersebut harus ditolak bentuk dan isinya.

Contoh Tafsirnya adalah : Kitab Kaifa Nata amal Maal Quranil Adzim karangan Yusuf Al Qordowi
f.        Tafsir Falsafi

Yang dimaksud dengan tafsir falsafi (al-tafsir al-falsafi) ialah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan logika atau pemikiran filsafat yang bersifat liberal dan radikal. Sebagaimana telah disinggung bahwa latarbelakang lahirnya berbagai corak tafsir itu karena tersebarluasnya dan bertemunya aneka budaya. Di tengahtengah pesatnya perkembangan ilmu dan budaya ini, gerakan penerjemahan tumbuh dan giat dilaksanakan di masa Dinasti Bani Abbas. Berbagai sumber perbendaharaan ilmu digali, dan aneka macam pustaka diterjemahkan, termasuk buku-buku filsafat karya para filosof Yunani.
Contoh dari Tafsir tersebut adalah Jamiul bayan fi tafsiril qur’an karangan Muhammad Ibn jarir at thabari, Tafsir Al Kasyaf karangan Imam Al jamakhsyari, Tafsir Al Mizan karangan Al thobat-thabai.



g.       Tafsir Adabul Ijtimai
Corak tafsir ini berusaha memahami nash-nash al Qur’andengan cara, pertama dan utama, mengemukakan ungkapan ungkapan al-Qur’an secara teliti; selanjutnya menjelaskan makna makna yang dimaksud oleh al-Qu’an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik. Kemudian pada langkah berikutnya, penafsir berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistim budaya yang ada.
Contoh dari Tafsir tersebut adalah Tafsir Al Manar karangan Muhammad Abduh , Rosyid Ridha, dkk. Tafsir Al Maraghi karangan Al Maraghi, The Holy Qur’an karangan A. Yusuf Ali