Oleh : ALIF
MUALIFIN
Pada abad ke dua puluh, karya – karya tercetak sudah selama
beberapa decade menyediakan akses untuk menjangkau ajaran islam. Sejauh itu
tentu sudah jelas. Namun, public muslim belum memiliki sarana untuk turut serta
dalam perdebatan – perdebatan eagamaan. Ini akan terus berlanjut higga khalayak
yang terbiasa dengan seni cetak mengembangkan minat yang kuat pada surat kabar.
Sampai saat itu, dan meski mereka sendiri memaikan peran dalam menciptakan
public para pembaca, para sufi dari torekat – torekat popular dikritik oleh
para lawan elit mereka sebagai korban ketololan, musuh potensial bagi kemanan
public, dan orang – orang desa polos yang menjadi gila karena gairah.
Masih bisa dipertanyakan apakah kritik – kritik ini membuat kawatir
para syekh sufi yang tetap sibuk mengajarkan pengetahuan secara pribadi dan
memberikan ijazah – ijazah yang sangat penting untuk tranmisi lebih lnjut
pengetahuan torekat dengan ujung pena mereka. Pengawasan ortodoksi sufi adalah
persoalan internal, dan para syekh di Mekkah merupakan penentu akhir, baik bagi
para raja ataupun orang – orang awam. Salah satu otoritas semacam itu adalah
pencetak mekah Ahmad Al Fatani (1856-1908), sama terkenalnya didataran utama
asia tenggra seperti halnya Nawawi Banten dikepulauan. Pada 1905 Al Fatani
menerima permohonan dari raja Muhammad IV di klantan, sebuah negara melayu yang
saat itu dibawah kendali Siam. Dalam suratnya, raja klantan meminta pendapat
apa yang diyakini sebagai praktek sebuah torekat sufi yang gurunya baru saja
tiba dikawasan tersebut dan telah mengumpulkan beberapa murid dikota Bharu.
Guru yang dimaksud adalah seorang minagkabau semenanjung bernama
Muhammad Sa’id b, Jamal Al Din Al LInggi (alias Cik ‘Id, 1875-1926). Ternyata,
Ahmadiyyah, demikian torekat ini dikenal, tlah dikenalkan ke klantan pada 1870
oleh ‘Abd Al Somad b.
Dalam permohonannya, Muhammad IV bertanya kepada Ahmad Al Fatani
mengenai keabsahan yang menmpatkan lelaki dan perempuan dari segala usia
berkumpul bersama. Sang penguasa itu terutama prihatin dengan berbagai visi
mabuk yang dilaporkan oleh para pengikut muda yang tersedot dalam ketidaksadran
diri karena “terpesona” atau “tertarik” oleh kehadiran Ilahiah (jadba).
Dalam MUqodimah fatwanya Al Fatani mengakui bahwa dia pernah masuk Ahmadiyyah,
tetapi mengakui bahwa pengalaman “ketertarikan”-nya berbeda dari gambaran sang
raja. Oleh karena itu, apa yang diureikan setelahnya berasal dari pembacaannya
yang luas terhadap “kata – kata sufi” dari sudut pandang orang dalam.
Akhirnya, Al Fatani menyiratkan bahwa torekat yang dimaksud di
Klantan bisa dinyatakan Shoheh, mengingat gurunya mengklaim sebuah kaitan
dengan Sidi Muhammad Sholih dan Ahmad Al Dandrowi. Dia jelas menganut aliran
pemikiran bahwa torekat bisa dianggap sesuei dengan ortodoksi. Sebagai penutup,
dia menegaskan bahwa pengetahuan mengenai ilmu – ilmu Islam yang penting, baik
lahir maupun batin, haruslah ditunntut selain pengetahuan (modern) tentang
dunia. Dengan kobinasi pembelajran inilah semua muslim bisa “membela dan
mengangkat kedaulatan Islam”.
Akan tetapi, terdapat suara – sura Jawi lainnya dimekah yang tidak
terlalu memberi hati pada golongan mabuk di asia Tengara. Barangkali yang
paling lantang adalah Ahmad Khotib Al – Minagkabawi, yang dimintai putusan dlam
kasus masjid palembang pada 1893. Dia mencela para syekh Sumatra Barat. Ahmad
Khotib lahir dikota Gadang dan terkenal sebagai pembuat onar pada masa
mudanya..
Seperti Al Fatani, Al Minagkabawi menulis sebagi tanggapan atas
sebuah pertanyaan dari salah seorang muridnya mengenai sebuah torekat yang aktif
dikmpung halaman “jawi” sang murid. Tidak seperti fatwa Al Fatani,
tanggapan Ahmad Khotib yang jauh lebih panjang tidak disimpen dekat dengan
pusat istana. Sebaliknya, Izhar zaghi al kadzibin (penjelasan tentang
pemalsuan para Pendusta) karyanya dicetak di padang pada Juni 1906 disertai sebuah fatwa
yang dikeluarkan oleh para mufti mekah Ba Busayl, ‘Adbul Al Karim daghistani,
dan Syu’ayb b. ‘Abd Al Karim Al Magribi, dan dengan dukungan sekelompok ulama
local.
Buku tersebut menimbulkan badai dikalangan pengikut Kholidi
setempat. Didalamnya, Ahmad Khotib mengkrtik tajam Mawlana Kholid karena
mngenalkan berbagai inovasi bidah, terutama robita. Untuk mendukung
pernyataannya, dia menggunakan kumpulan hadits Nabi dan tafsir Al Quran,
termasuk karya sihab Al Din Mahmud Al Alusi. Dia juga memanfaatkan teks – teks
otoritatif karya para sufi terdahulu dan berbagai buku panduan kaum
Naqsabandiyah yang lebih baru.
Ahmad Khotib menggunkan teks – teks tersebut sebagai tongkat
retoris untuk memukul para syekh yang pernah dia lihat di Mekkah. Karena,
disanalah para calon wakil sufi negri – negri Jawi berkumpul untuk membeli
Ijazah – ijazah yang dibutuhkan untuk menyedot keuntungan apapun yang mereka
bisa dari bangsa – bangsa Asia Tenggara yang mudah percaya dan kaya meski sejauh
yang bisa dia katakan, baik Ijazah maupun prilaku mereka tidak sejalan dengan
buku – buku panduan mereka sendiri.
Jadi tampaknya Ahmad khotib mau menerima gagasan tentang torekat
sufi yang benar – benar terhormat, asalkan sesuei dengan praktek yang terbukti
keshohihannya dan sifat – sifat tuhan tidak dihubungkan dengan Nabi atau para
Wali. Dia juga menjelaskan bahwa dirinya tidak menolak bahasa kaum sufi, tetapi
hanya berusaha menjawab pertanyaan – pertanyaan yang diajukan kepadanya dan
menjelaskan tindakan – tindakan serta silsilah mana yang benar – benar sampai
ke Nabi.
Bagitu pula keajaiban, meski jelas berada diluar jangkauan para
penjual minyak ular yang dibiarkan Berjaya dbawah sultan abdul Al Hamid, tidak
dinfikan . hal – hal demikian hanyalah milik masa lalu sebagaimana kepercayaan terhadap
kebenaran Isra Mi’raj dan keberadaan Malaikat. Bagaimanapun orang – orang
Kholidi Sumatra tidak tinggal diam menerima risalah Ahamad Khotib. Berbagai
deklarasi dikeluarkan menuduh murtad orang Jawi yang berbasis dimekkah itu, dan
Muhammad Sa’ad mungka dari payakumbuh menuuh bahwa Ahmad Khotib telah menghina
para wali dalam karyanya Irghom unuf al Muta’anitin (memotong hidung orang –
orang yang menjengkelkan ). Kemudian, seorang Kholidi yang lain Abdulah dari
tanah Darat, mengirimkan surat pribadi berisi peringatan kepada Ahmad Khotib.
Datangnya risalah maupun ejekan ada 1907 berdmpak pada
terdorongnya sang “Imam Madzhab Syafi’I”
itu mengambil tindakan lebih jauh. Masih ada lagi, dihalaman – halaman terakhir
Sayf al Battar, Ahmad Khotib memberikan alasan – alasan pribadi bagi
kekuatan perasaannya, mengklaim bahwa selama bertahun – bartahun dia sudah
mencari orang – orang marifat, menjadikan dirinya buadak ketika ia mengikuti
program – program mereka. Namun dia mendapati mereka tak lebih dari para penipu
yang menjual agama demi dunia, mencari pengidupan menggunakan nama torekat.
Ternyatan, sekelompok Naqsabandiyah dari bukit tinggi memamng
menulis surat meminta Sayyid ‘Utsman untuk menulis bantahan terhadap polemic
dari seorang lelaki yang mereka klaim di dorong oleh rasa cemburu. Mereka
bermaksud mengerimkan batahan tersebut kepada para komandan belanda di pesisir
Sumatra Barat. Mereka pastinya kecewa ketika Sayyid ‘Utsman menjawab secara
sangat diplomatis, mengakui dirinya mengetahui buku Ahmad Khotib dan merujuk
pada Watsiqo karyanya yng dkirimkan kepada mereka. Dengan demikian
tampaknya orang – orang Kholidi padang, yang pastinya naïf karena mengharapkan
bantuan dari lawan kuno mereka, secara tak disengaja mengubungkan sang sayyid
tua di Mekkah dengan orang minang yang lebih muda di Mekkah. Sebenarnya
lelaki yang lebih muda itu bisa dibilang lebih mendpatka wibawa. Sementara itu,
banyak salinan tanggapan ‘Utsman segera dikirimkan kembali oleh seorang pejabat
setempat dengan permintaan agar ditulis ulang dalam bahasa yang lebih sederhana
untuk warganya. Jelas bahwa terlepas dari pesetujuan sang sayyid, karya
– karya Ahmad Khotib terbukti memiliki dampak yang menentukan di Sumatra barat.
KEMUNCULAN
DAN ARTI PENTING AL IMAN
Terlepas dari apa yang mungkin mereka katakan dalam karya – karya
tercetak, para pengklaim ortodoksi mekkah terkini terhubung dengan sebuah
tradisi panjang kritisme terhadap sufisme mabuk. Kita mendengar hal ini dalam
tanggapan – tanggapan terhadap permohonan fatwa mereka, tetapi kita belum
mendengar suara politik muslim modern. Namun, masa itu sudah dekat bagi para
pembaca yang mulai terlibat degang sekupulan surat kabar muslim baru yang
diterbitkan di singapura.
Sudah ada beberapa pembahasan mengenai arti penting al Imam dalam
menyebarkan pesan kaum reformis kairo. Namuun, disini saya ingin menyoroti
beberapa aspek dalam hubungan sufisme torekat dari keterangan yang
dimunculkannya dalam hubungan antara para anggota dewan pengurus yang
berkebaangsaan Arab dan Melayu. Semenara penyebab aslinya masih menjadi
misteri, dua perubahan penting yang teradi pada 1908 pasti berkonstribusi
terhadap matinya surat kabar ini. Salah satunya adalah usuha untuk mengambil
alih kendali atas surat kabar ini yang dilakukan pada februari oleh para
anggota dewan pengurus yang memihak kepentingan kepentingan Arab. Pergeseran
lainnya adalah peningkatan yang mencolok dalam perdebatan mengenai posisi
Sufisme dalam kehidupan beragama orang – orang melayu.
Ini bermula dari sebuah pertanyaan yang relative tidak berbhaya
mengenai penarikan diri (suluk) yang dikirimkan pada surat kabar dari
panang pada Januari. Lalu, pertanyaan kedua mengenai persoalan sebuah torekot
di wilayah siam yang dikirimkan pada February. Pertanyaan yang kedua ini yang
menimbulkan kegemparan. Sebagaimana hal ini disebabkan oleh gambaran – gambaran
yang elatif mengerikan mengenai berbagai perkumpulan campuran kaum berimna yang
mencari visi Ilahiyah sembari mengentak – ngentakan kaki mereka dan mengganggu
ketenangan, gambaran yang jelas mengingatkan pada surat raja Kelantan kepada
Ahmad Al Fatani.
Semetara Al imam bisa jadi mengutuk pembunuhan diri yang keliru
seperti itu, para editornya tampaknya tak mampu membunuh kisah ini. Lebih
banyak surat diterima mengenai praktik – praktik torekat, terutama di Sumtra
dan Melayu. Segera menjadi jelas bahwa target kisah – kisah ini seringkali
adalah Syekh Kholidi setempat karena praktik Kholwa dan Robio
yang secara khusus diserang. Sebagai tanggapan, Al Imam menawarkan
jawaban yang sangat pamilier dan standar dari perdebatan internal dintar para
pembaharu Gozalian, dnegan menyaatakan bahwa, bagaiman telah diramalkan Nabi,
penyakit orang orang lampau telah berkembang, membuat orang tersesat dari
Sufime sejati….jalan lurus…dan semua sahabtnya dan para ulama.
Reaksi atas hal ini muncul tak lama kemudian di surat kabar lain,
utusn melayu seorang pengirim surat yang gelisah dari Panang meminta dalil Al
Quran bagi sikap Al iamam mengenai prraktek Robito. Tanggapan Al Imam
lebih murka dari pada sebelumnya. Tanggapan itu menegaskn bahwa Al Quran
mengutuk praktik demikian.
Masih tidak jelas apakah semua ini diketahui oleh seluruh editor AL
Imam, yang usaha mereka semula dinyatakan sebagai usaha yang berguana oleh
Sayyd ‘Utsman. Fakta bahwa sebuah tulisan dalam surat kabar ini mengenai para
cendekiawan barat yang telah menyusupi kota mekkah sama sekali tidak menunjuk
snouck Hurgronje atau nama aliasnya ‘Abd Al Ghafar menunjukan adanya semacam
hubungan positif. Yang juga tidak jelas adalahpandangan Al Zawawi mengenai
sufisme torekat. Namun, kenyataan bahwa kunjungannya keriau pada 1893 – 94
mendorong penerbitan buku panduan mendiang ayahnya yang lebih elitis terhadap
Naqsabandiyah ketimbang penafsiran yang ditawarkan oleh para syekh Kholidiyyah
atau Qodiriyyah Wa Naqsabandiyyah.
Tidak diragukan lagi, persoalan ini sama sekali belum selesei.
Saling jawab lebih lanjut antara para pembaca Al Imam dan Utusan
melayu menunjukan bahwa para guru setempat sama siakali tidak terkesan oleh
keseluruhan perkara ini. Satu pihak melangkah begitu jauh mebela ajaran –
ajaran mereka, dengan menyebut silsilah sulayman Afandi atau mendesak agar
persoalan – persoalan semacam ini tidak didiskusikan di surat kabar. Sementara
itu, pihak lain mengutip karya Ahmad Khotib Izar zaghl Al Kadzibin yang
sekarang memiliki nama buruk dan melmpirkan fatwa para ulama mekah.
Para guru lainnya juga sudah bosan dengan kehebohan ini. Jika kita
hendak memercayai laporan laporan yang dikirimkan pada Al Manar dari singapura
dan kuala Lumpur pada Agustus 1908, para guru torekat mulai melarang pembacaan
dan penyeberan Al Imam secara umum di kalangan murid mereka dan kalangan orang
awan. Jika kita menerima kemungkinan bahwa kebanyakan pembaca Al Imam berada
dikalangn torekat, dan kemudian dalam komonitas – komonitas yang menyokong
mereka, boikot semacam itu pastinya akan memengaruhi kelangsungan hidup surat
kabar tersebut karena akan lebih banyak tinta yang dihabiskan untuk persoalan –
persoalan torekat pada 1908.
Sebliknya, beberapa contributor dan pembaca melayu mungkin sangat
tidak setuju. Sangat mungkin bahwa pada akhir 1908 para ponyokong dan sisa
pembaca Al Imam bertanya – bertanya apa sebenarnya konstituen mereka. Kenyataan
bahwa pada tahun – tahun setelahnya kita mendapati para tokoh al Imam berada pada
sisi – sisi yang berbeda dalam beragai perselisihan idiologis akan menujukan
bahwa memang terdapat retakan internal pada masa – masa terakhir surat kabar
tersebut.
No comments:
Post a Comment