KATA PENGANTAR
Puji dan syukur
kehadirat Allah Swt, karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat dan salam tidak lupa
kami kirimkan selalu kepada baginda tercinta Nabi Muhamad Saw, keluarga,
sahabat, serta kepada umatnya semua.
Makalah ini
menjelaskan tentang seorang tokoh yang bernama Toshihiko Izutsu, makalah ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur Mata Kuliah yang terkait.
Dalam penyusunan makalah ini, kami mendapat berbagai tantangan dan hambatan.
Akan tetapi, dengan bantuan dan dukungan beberapa pihak tantangan itu bisa
teratasi. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam penyusunan
makalah ini, terutama kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah terkait, yang selalu
memberikan arahan dan masukannya, semoga mendapat balasan yang setimpal dari
Allah Swt.
Kami menyadari
makalah ini jauh dari kata kesempurnaan, baik dari segi materi maupun
penyusunannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun kami
harapkan dari semua pihak untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata,
kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhirnya
kepada Allah jualah kami serahkan semua pengorbanan serta perjuangan, demi
langkah dan ayunan tangan kami semoga senantiasa mendapatkan rahmat dan ampunan-Nya.
Amin
Cirebon,
29 Oktober 2016
Penulis
A.
Latar Belakang
Jepang sebagai salah satu Negara maju di Asia memang banyak
mengalami perkembangan pesat, baik itu dari segi teknologi, keilmuan, dan
peradaban. Dengan segala peradabannya itu, Jepang memang banyak berkembang di
bidang keilmuan sebagai asas dari kemajuannya.
Dalam makalah ini, kita akan membahas salah satu tokoh orientalis,
yang secara khusus mempelajari islam dan al qur’an, dan tokohnya berasal dari
Negara Jepang. Memang tidak banyak yang mengetahui bahwa islam telah menjadi
popular dan banyak di pelajari Negara Negara di dunia. Jepang juga tidak lupu
dari itu. Toshihiko
Izutsu adalah salah
satu yang ternama, dan kita akan membahasnya di makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Siapakah Toshihiko Izutsu ?
2.
Apa pandangannya terhadap penafsiran
Al-Qur’an ?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui Toshihiko Izutsu
2.
Mengetahui Pandangannya sebagai
seorang orientalis, terhadap pemahaman/ penafsiran Al qur’an.
D.
Metode Penelitian: Pustaka
E.
Pembahasan
Biografi Toshihiko Izutsu
Toshihiko
Izutsu (4 May 1914 – 7 January 1993) adalah Profesor Emeritus di Keio
University Jepang dan penulis banyak buku tentang Islam dan agama-agama lain.
Beliau mengajar di Institut Kebudayaan dan Studi Linguistik di Universitas Keio
di Tokyo, lembaga Filsafat Iran di Teheran, dan McGill University di Montreal,
Kanada. Beliau fasih dalam lebih dari 10 bahasa, termasuk bahasa Arab, Persia,
Sansekerta, Pali, Cina, Jepang, Rusia dan Yunani.
Beliau lahir
pada 4 Mei 1914 dalam sebuah keluarga kaya di Tokyo, Jepang. Sejak usia dini,
ia akrab dengan meditasi zen dan Koan, karena ayahnya juga seorang kaligrafer
menganut Buddha Zen.[1]
Tetapi, dalam perjalanan hidupnya, Izutsu juga membaca
karya-karya yang ditulis oleh ahli mistik Barat. Pengalaman inilah yang mengantarkan
beliau pada pemahaman yang sangat bertentangan dengan keyakinan sebelumnya.
Kalau masa mudanya ia asyik dengan spiritualisme Timur, kemudian beralih pada
spiritualisme Barat dan mencurahkan perhatiannya pada kajian filsafat Yunani.
Dari pengalaman berpikir tentang filsafat Yunani seperti Socrates, Aristoteles
dan Plotinos, yakni sejenis mistisisme, ditemukan sumber pemikiran filsafat dan
sekaligus sebagai kedalaman filsafatnya.
Bidang kegiatan penelitian Izutsu sangat luas yang
meliputi filsafat Yunani kuno dan filsafat Barat Abad Tengah hingga mistisisme
Islam Arab dan Persia, filsafat Yahudi, filsafat India, pemikiran
Confusianisme, Taoisme China, dan filsafat Zen. Keluasaan pengetahuannya
memungkinkan untuk melihat persoalan dari berbagai perspektif, sehingga akan
melahirkan pandangan yang menyeluruh tentang suatu masalah[2]
Tafsir
Semantik al-Qur’an
Pada era kontemporer, teori semantik dalam menafsirkan
alQur’an ini pertama kali diaplikasikan oleh Toshihiko Izutsu. Izutsu
mengatakan bahwa yang dimaksud semantik dalam hal ini adalah kajian analitik
terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang
akhirnya sampai pada pengertian kenseptual pandangan dunia masyarakat yang
menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara dan berpikir, tetapi
yang lebih penting adalah bagaimana mengkonsepkan sesuatu dengan penafsiran
yang melingkupinya.[3]
Semantik dalam pengertian ini adalah kajian tentang
sifat dan struktur pandangan dunia (world view) suatu bangsa pada saat sekarang
atau pada periode sejarahnya yang signifikan dengan analisis metodologis
terhadap konsep-konsep pokok yang telah dihasilkan oleh bahasa tersebut21.
Dalam ranah kajian tafsir, teks al-Qur’an tidak hanya ditempatkan sebagai teks
ketuhanan yang profan dan mu’jiz, namun al-Qur’an juga merupakan teks sebagai
alat komunikasi yang bisa dikaji secara ilmiah saintifik. Komunikasi antara
Tuhan sebagai komunikator aktif, Nabi Muhammad sebagai komunikator pasif dan
bahasa Arab sebagai kode komunikasi. Sebagai teks ilmiah, al-Qur’an tentu
terbuka bagi siapapun untuk menelitinya, baik muslim maupun non-muslim dengan
syarat adanya kapabilitas dalam penelitian al-Qur’an, seperti memahami bahasa
Arab, Ulumul Qur’an maupun ilmu-ilmu yang terkait dengan penelitian tafsir.
Sebagai ilmuwan yang ahli Bahasa, tentu saja Izutsu tidak bisa mengabaikan
bahasa al-Qur’an yang terus berkembang sejak diturunkan hingga sekarang.
Agaknya inilah yang coba dilakukan oleh Izutsu dengan semantik al-Qur’annya.[4]
Prinsip-Prinsip
Metodologi Penafsiran Semantik Ala Toshihiko Izutsu
1.
Keterpaduan
konsep-konsep individual
Keterpaduan konsep individual tampak mudah dengan
membuka seluruh kata al-Qur’ān, semua kata penting yang mewakili konsepkonsep
penting seperti Allāh, Islām, nabī, īmān, kāfir
dan sebagainya. Selanjutnya konsep individual ini ditarik menjadi kata kunci.
Namun kenyataannya adalah tidak mudah. Kata-kata atau konsep di dalam alQur’ān
tidaklah sederhana. Apalagi susunan ayat al-Qur’ān tidak disusun secara
sistematik, sehingga ayat yang sebelum dan sesudahnya tidak membicarakan satu
persoalan. Kedudukannya masing-masing saling terpisah, tetapi sangat saling
bergantung dan justru menghasilkan makna konkrit dari seluruh sistem hubungan
itu. Sebagaimana diungkapkan oleh[5]
2.
Makna Dasar dan Relation
Izutsu bahwa kata-kata itu membentuk kelompok-kelompok
yang beragam, besar dan kecil, dan berhubungan satu sama lain dengan berbagai
cara, sangat kompleks dan rumit sebagai kerangka kerja gabungan konseptual. Dan
sesuatu yang sangat penting bagi tujuan khusus kita adalah jenis sistem
konseptual yang berfungsi dalam alQur’ān, bukan konsep-konsep yang terpisah
secara individual dan dipertimbangkan terlepas dari struktur umum atau gestalt,
di mana konsep-konsep tersebut dipadukan. Dalam menganalisis konsep-konsep
kunci individual yang ditemukan di dalam al-Qur’ān kita bisa kehilangan wawasan
hubungan ganda yang saling memberi muatan dalam keseluruhan sistemMakna dasar
dan relational Untuk memahami keterpaduan konsep tersebut, diperlukan juga
pemahaman makna masing-masing konsep dalam pengertian ‘dasar’ (basic) dan
‘relasional’ (relational). Makna dasar adalah sesuatu yang melekat pada kata
itu sendiri, yang selalu terbawa di manapun kata itu diletakkan, sedangkan
makna relasional adalah sesuatu yang bersifat konotatif yang diberikan dan
ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi
khusus dan dalam bidang khusus, berada pada hubungan yang berbeda dengan semua
kata penting lainnya dalam sistem tersebut. Kedua makna tersebut merupakan
kesatuan yang tak bisa dipisahkan, meskipun tidak jarang makna dasar dari
sebuah
kosakata tidak lagi digunakan karena makna relasional dianggap sebagai makna sebenarnya dari sebuah kata. Masing-masing kata individu, yang diambil secara terpisah, memiliki makna dasar atau kandungan kontekstualnya sendiri yang akan tetap melekat pada kata itu meskipun ia diambil di luar konteks al-Qur’ān.[6]
kosakata tidak lagi digunakan karena makna relasional dianggap sebagai makna sebenarnya dari sebuah kata. Masing-masing kata individu, yang diambil secara terpisah, memiliki makna dasar atau kandungan kontekstualnya sendiri yang akan tetap melekat pada kata itu meskipun ia diambil di luar konteks al-Qur’ān.[6]
3.
Weltanschauung
Dari uraian di atas, kosa kata mempunyai kedudukan yang
sangat penting untuk memahami secara keseluruhan makna dan pesan dari kitab
suci. Pada mulanya, kosa kata dianalisis untuk menafsirkan sebuah teks lebih
dalam. Meskipun, arti kata atau etimologi dalam banyak teks tetap merupakan
dugaan saja, dan sangat sering merupakan misteri yang tak terpecahkan.34 Dalam
analisis Izutsu, pendekatan semantik bertujuan mencapai lebih dari sekedar
menjelaskan arti harfiah, tetapi lebih jauh juga mengungkapkan pengalaman
budaya. Akhirnya, analisis ini akan mencapai sebuah rekonstruksi tingkat
analitik struktur keseluruhan budaya itu sebagai konsepsi masyarakat yang
sungguh-sungguh ada. Inilah yang disebut Izutsu dengan Weltanschauung semantik
budaya. Kata-kata dalam bentuk bahasa adalah suatu sistem jaringan yang rapat.
Pola utama sistem tersebut ditentukan oleh sejumlah kata-kata penting tertentu.
Kosakata dan bahasa dengan jaringan pola-pola konotatifnya pada dasarnya
merupakan satu sistem dari bentuk-bentuk[7]
pengungkapan (articulatory) yang menurut sistem tersebut kata bersinggungan secara terus menerus dengan sejumlah kenyataan dan peristiwa tertentu. Dengan demikian, setiap kosa kata mewakili dan mewujudkan sebuah pandangan dunia yang khas (Weltanschauung) yang mengubah bahan pengalaman yang masih mentah ke dalam dunia yang
penuh makna ‘tertafsirkan’. Dengan kata lain, kosa kata dalam pengertian ini bukanlah merupakan susunan berlapisan tunggal.
pengungkapan (articulatory) yang menurut sistem tersebut kata bersinggungan secara terus menerus dengan sejumlah kenyataan dan peristiwa tertentu. Dengan demikian, setiap kosa kata mewakili dan mewujudkan sebuah pandangan dunia yang khas (Weltanschauung) yang mengubah bahan pengalaman yang masih mentah ke dalam dunia yang
penuh makna ‘tertafsirkan’. Dengan kata lain, kosa kata dalam pengertian ini bukanlah merupakan susunan berlapisan tunggal.
Cara
Kerja Semantik al-Qur’an
Berikut ini adalah prinsip-prinsip penelitian semantik
al-Qur’an seperti yang telah dijelaskan oleh Izutsu;
1. Istilah
kunci, yang dimaksud Istilah kunci di sini adalah istilah yang membawahi
kosakata di bawahnya sebagai medan semantik. Seperti kata
taqwa>, inti semantik dasar taqwa> pada zaman jahiliyah adalah sikap membela diri baik oleh binatang maupun manusia, untuk tetap hidup melawan sejumlah kekuatan destruktif dari luar. Kata ini kemudian masuk dalam sistem konsep Islam melalui al-Qur’an, dengan membawa makna itu sendiri disertai hubungannya dengan konsep yang lain. Taqwa> dalam konsep Islam erat kaitannya dengan kepercayaan religius dan mengerucut pengertiannya menjadi takut terhadap ancaman Tuhan sehingga meninggalkan hal-hal yang dilarang Tuhan serta menjalankan segala perintahny. Dari makna inilah kemudian taqwa mempunyai hubungan erat dengan iman, islam, ihsan dan shalih. Oleh karena itu taqwa dalam hal ini bisa menjadi kata kunci.[8]
taqwa>, inti semantik dasar taqwa> pada zaman jahiliyah adalah sikap membela diri baik oleh binatang maupun manusia, untuk tetap hidup melawan sejumlah kekuatan destruktif dari luar. Kata ini kemudian masuk dalam sistem konsep Islam melalui al-Qur’an, dengan membawa makna itu sendiri disertai hubungannya dengan konsep yang lain. Taqwa> dalam konsep Islam erat kaitannya dengan kepercayaan religius dan mengerucut pengertiannya menjadi takut terhadap ancaman Tuhan sehingga meninggalkan hal-hal yang dilarang Tuhan serta menjalankan segala perintahny. Dari makna inilah kemudian taqwa mempunyai hubungan erat dengan iman, islam, ihsan dan shalih. Oleh karena itu taqwa dalam hal ini bisa menjadi kata kunci.[8]
2. Perhatian terhadap makna dasar (basic meaning) dan makna
relasional
(relational meaning) kata. Makna dasar adalah makna yang nyata, jelas dan tetap melekat dalam kondisi apapun kata itu diletakkan dan digunakan, baik di dalam al-Qur’an maupun di luar al-Qur’an. Dalam studi linguistik makna dasar disebut juga makna leksikal. Sedangkan yang dimaksud makna relasional adalah makna yang muncul sebagai akibat dari proses gramatika, atau disebut juga makna gramatikal, namun makna relasional ini lebih umum daripada makna gramatikal itu sendiri
3. Integrasi antarkonsep Penelitian semantik berusaha mengaitkan satu konsep dengan konsep lain. Tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan maknawi antara satu konsep dan konsep lain dan mengetahui posisi konsep yang dibahas dalam sistem konsep yang lebih luas serta untuk mendapatkan pemahaman secara komprehensif.[9]
(relational meaning) kata. Makna dasar adalah makna yang nyata, jelas dan tetap melekat dalam kondisi apapun kata itu diletakkan dan digunakan, baik di dalam al-Qur’an maupun di luar al-Qur’an. Dalam studi linguistik makna dasar disebut juga makna leksikal. Sedangkan yang dimaksud makna relasional adalah makna yang muncul sebagai akibat dari proses gramatika, atau disebut juga makna gramatikal, namun makna relasional ini lebih umum daripada makna gramatikal itu sendiri
3. Integrasi antarkonsep Penelitian semantik berusaha mengaitkan satu konsep dengan konsep lain. Tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan maknawi antara satu konsep dan konsep lain dan mengetahui posisi konsep yang dibahas dalam sistem konsep yang lebih luas serta untuk mendapatkan pemahaman secara komprehensif.[9]
4. Perhatian terhadap aspek-aspek sinkronik dan diakronik. Aspek
sinkronik adalah aspek yang tidak berubah dari sebuah konsep atau kata,
sedangkan aspek diakronik adalah aspek yang selalu berubah/berkembang dari satu
masa ke masa yang lain. Perkembangan konsep dalam kajian al-Qur’an dimulai dari
masa pra-Qur’anik (jahiliyah), berlanjut ke masa Qur’anik dan Pasca-Qur’anic.
Untuk mengetahui makna sinkronik dan diakronik dalam kosakata yang digunakan
al-Qur’an, terutama di masa pra-Qur’anik dapat menggunakan syair-syair atau
ungkapan yang biasa digunakan orang Arab yang tersebar dalam kitab-kitab syair
maupun melalui kamus-kamus. Sedangkan untuk masa Qur’anic dan pasca Qur’anik
kita dapt menggunakan kitab-kitab asbab al-nuzul, tafsir dan literatur Islam
lain seperti fiqh, teologi dan lain sebagainya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa bahasa adalah satu sistem dependent
(tergantung) atau berhubungan dengan kultur dan budaya penuturnya. Maka dengan meneliti semantik bahasa serta hal-hal yang melingkupinya, diharapkan dapat menemukan pandangan suatu teks (al-Qur’an) tentang ‘sesuatu’ (Being).[10]
Tidak bisa dipungkiri bahwa bahasa adalah satu sistem dependent
(tergantung) atau berhubungan dengan kultur dan budaya penuturnya. Maka dengan meneliti semantik bahasa serta hal-hal yang melingkupinya, diharapkan dapat menemukan pandangan suatu teks (al-Qur’an) tentang ‘sesuatu’ (Being).[10]
Contoh
Pendekatan Semantik dalam Kajian al-Qur’an
Bagi
pemakalah, apa yang diushakan oleh Toshihiko merupakan terjemahan tindakan dari
kaidah tafsir: لا
يجوز حمل ألفاظ الكتاب على اصطلاح حادث (tidak diperkenankan membawa lafad-lafad
al-Kitab al-Qur’an menuju pengertian bahasa kontemporer) serta beberapa kaidah
lain yang berkaitan dengan bahasa. Dari sini kita, umat Islam, dapat
mengapresiasi apa yang telah diusahakn oleh Toshihiko dalam memahami al-Qur’an.
Dalam
bukunya, Toshihiko menjelaskan (tentu ini merupakan bagian dari “tafsir”)
tentang term-term tentang “baik dan buruk” dalam al-Qur’an. Pertama pemakalah
akan menyebutkan mengenai tafsir toshihiko pada term “kebaikan” atau al-Birr.
Beliau menulis dalam menjelaskan makna semantik dari Birr, sebagai
berikut:
Birr,
yang artinya hampir sama dengan istilah shalih – walau tidak serupa – adalah
kata birr, yang barangkali salah satu kata yang paing sukar dipahami
dibandingkan dengan istilah-istilah moral lainnya dalam al-Qur’an. Namun,
petunjuk penting untuk struktur semantik dasar dari kata ini dapat diperoleh
bila kita membandingkannya dengan shalih. Sebagaimana yang kita ketahui, dalam
semantik SLH kedudukan sangat penting diberikan kepada faktor-faktor yang
berhubungan dengan keadilan dan cinta antara manusia. Dengan demikian –ambillah
dua unsur yang mewakili – pengabdian kepada Allah dan memberi makan orang
miskin di atas dasar pijakan yang hampir sama. Hal ini juga tak perlu
mengherankan kita, karena al-Qur’an secara keseluruhan sangat memberi penekanan
kepada keadilan dan cinta dalam perikehidupan social. Dengan kata lain,
kesalahan tidaklah dapat terjadi bila kita mewujudkan keadilan dan rasa cinta
kepada orang lain.
Kini
kata birr memberikan penegasan lebih jauh kepada pandangan tersebut. Sebuah
ayat yang amat penting dari surah al-Baqarah, memberikan definisi yang
kontekstual tentang kata ini, paling tidak dalam kerangka pemikiran al-Qur’an
yang umum.
Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan (birr), akan
tetapi Sesungguhnya kebajikan (birr) itu ialah beriman kepada Allah, hari
Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir
(yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa
(al-Baqarah, 177)
Pandangan
yang sekilas terhadap unsur-unsur yang di sini disebutkan sebagai birr yang
sesungguhnya membuat kita segera memahami bahwa kata itu hampir tidak dapat
dibedakan sama sekali dengan salihat, atau iman yang sejati. Kita melihat
betapa pada saat yang sama kata ini diterjemahkan dengan berbagai cara ke dalam
bahasa Inggris. Istilah tadi sangat tepat diterjemahkan dengan “piety”
(kesalehan), namun tidak pula kurang tepat bila disalin dengan “righteousness”
(kebajikan, kebenaran, keadilan) atau “kindness” (kebajikan). Tetapi setiap
terjemahan ini memiliki makna tersendiri, tidak ada kata yang tepat yang secara
umum dapat meliputi semua pengertian dan bahkan barangkali masih terdapat makna
lain dalm pengertian birr yang kompleks.
Dari
sini dapat kita ketahui bahwa Toshihiko sangat cermat dalam memberikan makna
semantik pada konsep yang ia teliti. Hal ini semakin diperkuat dengan lanjutan
dari pembahasan birr di atas. Ia melanjutkan dengan menyebutkan tentang
bagaimana al-Qur’an memberikan aspek-aspek pengertian birr yang
kompleks. Pertama mengenai hubungan birr dengan taqwa. Ia
menyimpulkan bahwa birr adalah menunaikan segala kewajiban, bukan
hanya menyangkut keagamaan namun juga sosial. Kesimpulan ini beliau dapat dari
penelitian terhadap ayat-ayat yang menyebutkan birr dan taqwa, misalnya
pada QS. Al-Baqarah (2): 189 dan lebih lagi dikokohkan bahwa al-birr adalah
“ketaqwaan yang sungguh-sungguh” yaitu pada QS. Ali Imran (3): 92. Selanjutnya
beliau kemukakan mengenai hubungan al-birr dengan ketaatan kepada ibu-bapak (QS.
Maryam [19]: 14), serta al-birr dengan qist (QS. al-Mumtahanah
[60]: 8).
Sedangkan
pada saat menjelaskan konsep semantik dari fasad ia menulis:
Bahwa
istilah fasad (atau kata yang berhubugan dengan kata kerja afsada) sangat
komprehensif, yang mampu menunjukkan semua perbuatan buruk … dalam al-Qur’an
kita menjumpai beberapa contoh penggunaan kata tersebut dalam konteks yang
non-roligius. Misalnya dalam surah Yusuf, perbuatan mencuri mendapat julukan
itu.
Saudara-saudara
Yusuf menjawab: “Demi Allah sesungguhnya kamu mengetahui bahwa kami datang
bukan untuk membuat kerusakan (nufisda, dari afsada) di negeri (ini). Dan kami
bukanlah orang-orang mencuri” . (QS. Yusuf [12]: 73)
…
sepintas dalam ayat lain, yang dapat dipandang dalam konteks religious menurut
al-Qur’an, kata tersebut berarti melakukan kebiasaan liwat (sodomy) yang
menjijikkan dan dikutuk.
Semakin jelas dari sini bagaimana
Toshihiko merangkum semua faktor yang mengitari suatu konsep. Tidak hanya
bagaimana bahasa memberikan makna pada suatu kata namun lebih lagi bagaimana
al-Qur’an mengkhususkan penggunaan suatu kata. Hal ini akan, pada waktunya,
menunjukkan betapa agung bahasa al-Qur’an itu.
وَلَقَدْ
نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِسَانُ الَّذِي
يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ
Dan Sesungguhnya kami mengetahui
bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang
manusia kepadanya (Muhammad)". padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan
(bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam, sedang Al Quran adalah dalam
bahasa Arab yang terang. [11]
F.
Kesimpulan
Toshihiko
Izutsu adalah seorang
ahli orientalis yang menguasai banyak bahasa. Dalam menafsirkan al qur’an
sekalipun, Toshihiko Izutsu menggunakan pendekatan yang sangat primer
dari bahasa, dengan sebutan yang kita kenal belakangan adalah semantik.
Semantik
merupakan unsur yang menjadi kajian dalm pembedahan tafsir mela lui jalur
linguistgik, sesuatu yang sangat terlihat dan dekat kepada manusia, malah
mungkin menyatu dengan kehidupan sehari hari. Toshihiko Izutsu dengan
apik menafsirkan al qur’an secara objektif melalui kebahasaan yang memang
menjadi penguasaannya. Toshihiko Izutsu selalu percaya bahwa bahasa
mengandung kode masing masing yang berbeda dari masing masing tempatnya
berasal, itulah sebabnya semantic menurutnya sangat tepat untuk menghasilkan
tafsiran, tentunya jika menguasai bahasanya.
Daftar Pustaka
1. revolusimadrasah.blogspot.co.id/2015/08/biografi-toshihiko-izutsu-sang.html
2. SEMANTIK AL-QUR’AN
PERSPEKTIF TOSHIHIKO IZUTSU, PDF
[1] revolusimadrasah.blogspot.co.id/2015/08/biografi-toshihiko-izutsu-sang.html diunduh pada jumat 28 10 2016 jam 13. 27 WIB
[2] SEMANTIK AL-QUR’AN
PERSPEKTIF TOSHIHIKO IZUTSU, PDF
[3] Ibid,
[4] Ibid,
[5] Ibid,
[6] Ibid,
[7] Ibid,
[8] Ibid,
[9] Ibid,
[10]Ibid,
[11] http://nurahmadbelajar.blogspot.co.id/2013/06/tafsir-semantik-ala-toshihiko-izutsu.html
diunduh pada jumat 28 10 2016 jam 13. 27 WIB
No comments:
Post a Comment