Friday, October 28, 2016

Makalah : DARI SUFISME KE SALAFISME AHMAD AL – FATANI DAN AHMAD KHOTIB AL MIANANGKABAWI MENGENAI TAREKAT



Oleh                                   : ALIF MUALIFIN
Pada abad ke dua puluh, karya – karya tercetak sudah selama beberapa decade menyediakan akses untuk menjangkau ajaran islam. Sejauh itu tentu sudah jelas. Namun, public muslim belum memiliki sarana untuk turut serta dalam perdebatan – perdebatan eagamaan. Ini akan terus berlanjut higga khalayak yang terbiasa dengan seni cetak mengembangkan minat yang kuat pada surat kabar. Sampai saat itu, dan meski mereka sendiri memaikan peran dalam menciptakan public para pembaca, para sufi dari torekat – torekat popular dikritik oleh para lawan elit mereka sebagai korban ketololan, musuh potensial bagi kemanan public, dan orang – orang desa polos yang menjadi gila karena gairah.
Masih bisa dipertanyakan apakah kritik – kritik ini membuat kawatir para syekh sufi yang tetap sibuk mengajarkan pengetahuan secara pribadi dan memberikan ijazah – ijazah yang sangat penting untuk tranmisi lebih lnjut pengetahuan torekat dengan ujung pena mereka. Pengawasan ortodoksi sufi adalah persoalan internal, dan para syekh di Mekkah merupakan penentu akhir, baik bagi para raja ataupun orang – orang awam. Salah satu otoritas semacam itu adalah pencetak mekah Ahmad Al Fatani (1856-1908), sama terkenalnya didataran utama asia tenggra seperti halnya Nawawi Banten dikepulauan. Pada 1905 Al Fatani menerima permohonan dari raja Muhammad IV di klantan, sebuah negara melayu yang saat itu dibawah kendali Siam. Dalam suratnya, raja klantan meminta pendapat apa yang diyakini sebagai praktek sebuah torekat sufi yang gurunya baru saja tiba dikawasan tersebut dan telah mengumpulkan beberapa murid dikota Bharu.
Guru yang dimaksud adalah seorang minagkabau semenanjung bernama Muhammad Sa’id b, Jamal Al Din Al LInggi (alias Cik ‘Id, 1875-1926). Ternyata, Ahmadiyyah, demikian torekat ini dikenal, tlah dikenalkan ke klantan pada 1870 oleh ‘Abd Al Somad b.
Dalam permohonannya, Muhammad IV bertanya kepada Ahmad Al Fatani mengenai keabsahan yang menmpatkan lelaki dan perempuan dari segala usia berkumpul bersama. Sang penguasa itu terutama prihatin dengan berbagai visi mabuk yang dilaporkan oleh para pengikut muda yang tersedot dalam ketidaksadran diri karena “terpesona” atau “tertarik” oleh kehadiran Ilahiah (jadba). Dalam MUqodimah fatwanya Al Fatani mengakui bahwa dia pernah masuk Ahmadiyyah, tetapi mengakui bahwa pengalaman “ketertarikan”-nya berbeda dari gambaran sang raja. Oleh karena itu, apa yang diureikan setelahnya berasal dari pembacaannya yang luas terhadap “kata – kata sufi” dari sudut pandang orang dalam.
Akhirnya, Al Fatani menyiratkan bahwa torekat yang dimaksud di Klantan bisa dinyatakan Shoheh, mengingat gurunya mengklaim sebuah kaitan dengan Sidi Muhammad Sholih dan Ahmad Al Dandrowi. Dia jelas menganut aliran pemikiran bahwa torekat bisa dianggap sesuei dengan ortodoksi. Sebagai penutup, dia menegaskan bahwa pengetahuan mengenai ilmu – ilmu Islam yang penting, baik lahir maupun batin, haruslah ditunntut selain pengetahuan (modern) tentang dunia. Dengan kobinasi pembelajran inilah semua muslim bisa “membela dan mengangkat kedaulatan Islam”.
Akan tetapi, terdapat suara – sura Jawi lainnya dimekah yang tidak terlalu memberi hati pada golongan mabuk di asia Tengara. Barangkali yang paling lantang adalah Ahmad Khotib Al – Minagkabawi, yang dimintai putusan dlam kasus masjid palembang pada 1893. Dia mencela para syekh Sumatra Barat. Ahmad Khotib lahir dikota Gadang dan terkenal sebagai pembuat onar pada masa mudanya..
Seperti Al Fatani, Al Minagkabawi menulis sebagi tanggapan atas sebuah pertanyaan dari salah seorang muridnya mengenai sebuah torekat yang aktif dikmpung halaman “jawi” sang murid. Tidak seperti fatwa Al Fatani, tanggapan Ahmad Khotib yang jauh lebih panjang tidak disimpen dekat dengan pusat istana. Sebaliknya, Izhar zaghi al kadzibin (penjelasan tentang pemalsuan para Pendusta) karyanya dicetak  di padang pada Juni 1906 disertai sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh para mufti mekah Ba Busayl, ‘Adbul Al Karim daghistani, dan Syu’ayb b. ‘Abd Al Karim Al Magribi, dan dengan dukungan sekelompok ulama local.
Buku tersebut menimbulkan badai dikalangan pengikut Kholidi setempat. Didalamnya, Ahmad Khotib mengkrtik tajam Mawlana Kholid karena mngenalkan berbagai inovasi bidah, terutama robita. Untuk mendukung pernyataannya, dia menggunakan kumpulan hadits Nabi dan tafsir Al Quran, termasuk karya sihab Al Din Mahmud Al Alusi. Dia juga memanfaatkan teks – teks otoritatif karya para sufi terdahulu dan berbagai buku panduan kaum Naqsabandiyah yang lebih baru.
Ahmad Khotib menggunkan teks – teks tersebut sebagai tongkat retoris untuk memukul para syekh yang pernah dia lihat di Mekkah. Karena, disanalah para calon wakil sufi negri – negri Jawi berkumpul untuk membeli Ijazah – ijazah yang dibutuhkan untuk menyedot keuntungan apapun yang mereka bisa dari bangsa – bangsa Asia Tenggara yang mudah percaya dan kaya meski sejauh yang bisa dia katakan, baik Ijazah maupun prilaku mereka tidak sejalan dengan buku – buku panduan mereka sendiri.


Jadi tampaknya Ahmad khotib mau menerima gagasan tentang torekat sufi yang benar – benar terhormat, asalkan sesuei dengan praktek yang terbukti keshohihannya dan sifat – sifat tuhan tidak dihubungkan dengan Nabi atau para Wali. Dia juga menjelaskan bahwa dirinya tidak menolak bahasa kaum sufi, tetapi hanya berusaha menjawab pertanyaan – pertanyaan yang diajukan kepadanya dan menjelaskan tindakan – tindakan serta silsilah mana yang benar – benar sampai ke Nabi.
Bagitu pula keajaiban, meski jelas berada diluar jangkauan para penjual minyak ular yang dibiarkan Berjaya dbawah sultan abdul Al Hamid, tidak dinfikan . hal – hal demikian hanyalah milik masa lalu sebagaimana kepercayaan terhadap kebenaran Isra Mi’raj dan keberadaan Malaikat. Bagaimanapun orang – orang Kholidi Sumatra tidak tinggal diam menerima risalah Ahamad Khotib. Berbagai deklarasi dikeluarkan menuduh murtad orang Jawi yang berbasis dimekkah itu, dan Muhammad Sa’ad mungka dari payakumbuh menuuh bahwa Ahmad Khotib telah menghina para wali dalam karyanya Irghom unuf al Muta’anitin (memotong hidung orang – orang yang menjengkelkan ). Kemudian, seorang Kholidi yang lain Abdulah dari tanah Darat, mengirimkan surat pribadi berisi peringatan kepada Ahmad Khotib.
Datangnya risalah maupun ejekan ada 1907 berdmpak pada terdorongnya  sang “Imam Madzhab Syafi’I” itu mengambil tindakan lebih jauh. Masih ada lagi, dihalaman – halaman terakhir Sayf al Battar, Ahmad Khotib memberikan alasan – alasan pribadi bagi kekuatan perasaannya, mengklaim bahwa selama bertahun – bartahun dia sudah mencari orang – orang marifat, menjadikan dirinya buadak ketika ia mengikuti program – program mereka. Namun dia mendapati mereka tak lebih dari para penipu yang menjual agama demi dunia, mencari pengidupan menggunakan nama torekat.
Ternyatan, sekelompok Naqsabandiyah dari bukit tinggi memamng menulis surat meminta Sayyid ‘Utsman untuk menulis bantahan terhadap polemic dari seorang lelaki yang mereka klaim di dorong oleh rasa cemburu. Mereka bermaksud mengerimkan batahan tersebut kepada para komandan belanda di pesisir Sumatra Barat. Mereka pastinya kecewa ketika Sayyid ‘Utsman menjawab secara sangat diplomatis, mengakui dirinya mengetahui buku Ahmad Khotib dan merujuk pada Watsiqo karyanya yng dkirimkan kepada mereka. Dengan demikian tampaknya orang – orang Kholidi padang, yang pastinya naïf karena mengharapkan bantuan dari lawan kuno mereka, secara tak disengaja mengubungkan sang sayyid tua di Mekkah dengan orang minang yang lebih muda di Mekkah. Sebenarnya lelaki yang lebih muda itu bisa dibilang lebih mendpatka wibawa. Sementara itu, banyak salinan tanggapan ‘Utsman segera dikirimkan kembali oleh seorang pejabat setempat dengan permintaan agar ditulis ulang dalam bahasa yang lebih sederhana untuk warganya. Jelas bahwa terlepas dari pesetujuan sang sayyid, karya – karya Ahmad Khotib terbukti memiliki dampak yang menentukan di Sumatra barat.




KEMUNCULAN DAN ARTI PENTING AL IMAN
Terlepas dari apa yang mungkin mereka katakan dalam karya – karya tercetak, para pengklaim ortodoksi mekkah terkini terhubung dengan sebuah tradisi panjang kritisme terhadap sufisme mabuk. Kita mendengar hal ini dalam tanggapan – tanggapan terhadap permohonan fatwa mereka, tetapi kita belum mendengar suara politik muslim modern. Namun, masa itu sudah dekat bagi para pembaca yang mulai terlibat degang sekupulan surat kabar muslim baru yang diterbitkan di singapura.
Sudah ada beberapa pembahasan mengenai arti penting al Imam dalam menyebarkan pesan kaum reformis kairo. Namuun, disini saya ingin menyoroti beberapa aspek dalam hubungan sufisme torekat dari keterangan yang dimunculkannya dalam hubungan antara para anggota dewan pengurus yang berkebaangsaan Arab dan Melayu. Semenara penyebab aslinya masih menjadi misteri, dua perubahan penting yang teradi pada 1908 pasti berkonstribusi terhadap matinya surat kabar ini. Salah satunya adalah usuha untuk mengambil alih kendali atas surat kabar ini yang dilakukan pada februari oleh para anggota dewan pengurus yang memihak kepentingan kepentingan Arab. Pergeseran lainnya adalah peningkatan yang mencolok dalam perdebatan mengenai posisi Sufisme dalam kehidupan beragama orang – orang melayu.
Ini bermula dari sebuah pertanyaan yang relative tidak berbhaya mengenai penarikan diri (suluk) yang dikirimkan pada surat kabar dari panang pada Januari. Lalu, pertanyaan kedua mengenai persoalan sebuah torekot di wilayah siam yang dikirimkan pada February. Pertanyaan yang kedua ini yang menimbulkan kegemparan. Sebagaimana hal ini disebabkan oleh gambaran – gambaran yang elatif mengerikan mengenai berbagai perkumpulan campuran kaum berimna yang mencari visi Ilahiyah sembari mengentak – ngentakan kaki mereka dan mengganggu ketenangan, gambaran yang jelas mengingatkan pada surat raja Kelantan kepada Ahmad Al Fatani.
Semetara Al imam bisa jadi mengutuk pembunuhan diri yang keliru seperti itu, para editornya tampaknya tak mampu membunuh kisah ini. Lebih banyak surat diterima mengenai praktik – praktik torekat, terutama di Sumtra dan Melayu. Segera menjadi jelas bahwa target kisah – kisah ini seringkali adalah Syekh Kholidi setempat karena praktik Kholwa dan Robio yang secara khusus diserang. Sebagai tanggapan, Al Imam menawarkan jawaban yang sangat pamilier dan standar dari perdebatan internal dintar para pembaharu Gozalian, dnegan menyaatakan bahwa, bagaiman telah diramalkan Nabi, penyakit orang orang lampau telah berkembang, membuat orang tersesat dari Sufime sejati….jalan lurus…dan semua sahabtnya dan para ulama.
Reaksi atas hal ini muncul tak lama kemudian di surat kabar lain, utusn melayu seorang pengirim surat yang gelisah dari Panang meminta dalil Al Quran bagi sikap Al iamam mengenai prraktek Robito. Tanggapan Al Imam lebih murka dari pada sebelumnya. Tanggapan itu menegaskn bahwa Al Quran mengutuk praktik demikian.
Masih tidak jelas apakah semua ini diketahui oleh seluruh editor AL Imam, yang usaha mereka semula dinyatakan sebagai usaha yang berguana oleh Sayyd ‘Utsman. Fakta bahwa sebuah tulisan dalam surat kabar ini mengenai para cendekiawan barat yang telah menyusupi kota mekkah sama sekali tidak menunjuk snouck Hurgronje atau nama aliasnya ‘Abd Al Ghafar menunjukan adanya semacam hubungan positif. Yang juga tidak jelas adalahpandangan Al Zawawi mengenai sufisme torekat. Namun, kenyataan bahwa kunjungannya keriau pada 1893 – 94 mendorong penerbitan buku panduan mendiang ayahnya yang lebih elitis terhadap Naqsabandiyah ketimbang penafsiran yang ditawarkan oleh para syekh Kholidiyyah atau Qodiriyyah Wa Naqsabandiyyah.
Tidak diragukan lagi, persoalan ini sama sekali belum selesei. Saling jawab lebih lanjut antara para pembaca Al Imam dan Utusan melayu menunjukan bahwa para guru setempat sama siakali tidak terkesan oleh keseluruhan perkara ini. Satu pihak melangkah begitu jauh mebela ajaran – ajaran mereka, dengan menyebut silsilah sulayman Afandi atau mendesak agar persoalan – persoalan semacam ini tidak didiskusikan di surat kabar. Sementara itu, pihak lain mengutip karya Ahmad Khotib Izar zaghl Al Kadzibin yang sekarang memiliki nama buruk dan melmpirkan fatwa para ulama mekah.
Para guru lainnya juga sudah bosan dengan kehebohan ini. Jika kita hendak memercayai laporan laporan yang dikirimkan pada Al Manar dari singapura dan kuala Lumpur pada Agustus 1908, para guru torekat mulai melarang pembacaan dan penyeberan Al Imam secara umum di kalangan murid mereka dan kalangan orang awan. Jika kita menerima kemungkinan bahwa kebanyakan pembaca Al Imam berada dikalangn torekat, dan kemudian dalam komonitas – komonitas yang menyokong mereka, boikot semacam itu pastinya akan memengaruhi kelangsungan hidup surat kabar tersebut karena akan lebih banyak tinta yang dihabiskan untuk persoalan – persoalan torekat pada 1908.
Sebliknya, beberapa contributor dan pembaca melayu mungkin sangat tidak setuju. Sangat mungkin bahwa pada akhir 1908 para ponyokong dan sisa pembaca Al Imam bertanya – bertanya apa sebenarnya konstituen mereka. Kenyataan bahwa pada tahun – tahun setelahnya kita mendapati para tokoh al Imam berada pada sisi – sisi yang berbeda dalam beragai perselisihan idiologis akan menujukan bahwa memang terdapat retakan internal pada masa – masa terakhir surat kabar tersebut.

No comments:

Post a Comment