Saturday, October 29, 2016

Makalah Orientalis, Toshihiko Izutsu



KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah Swt, karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat dan salam tidak lupa kami kirimkan selalu kepada baginda tercinta Nabi Muhamad Saw, keluarga, sahabat, serta kepada umatnya semua.
Makalah ini menjelaskan tentang seorang tokoh yang bernama Toshihiko Izutsu, makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur Mata Kuliah yang terkait. Dalam penyusunan makalah ini, kami mendapat berbagai tantangan dan hambatan. Akan tetapi, dengan bantuan dan dukungan beberapa pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam penyusunan makalah ini, terutama kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah terkait, yang selalu memberikan arahan dan masukannya, semoga mendapat balasan yang setimpal dari Allah Swt.
Kami menyadari makalah ini jauh dari kata kesempurnaan, baik dari segi materi maupun penyusunannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun kami harapkan dari semua pihak untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhirnya kepada Allah jualah kami serahkan semua pengorbanan serta perjuangan, demi langkah dan ayunan tangan kami semoga senantiasa mendapatkan rahmat dan ampunan-Nya.
Amin
                                                            Cirebon, 29 Oktober 2016

Penulis






A.     Latar Belakang
Jepang sebagai salah satu Negara maju di Asia memang banyak mengalami perkembangan pesat, baik itu dari segi teknologi, keilmuan, dan peradaban. Dengan segala peradabannya itu, Jepang memang banyak berkembang di bidang keilmuan sebagai asas dari kemajuannya.
Dalam makalah ini, kita akan membahas salah satu tokoh orientalis, yang secara khusus mempelajari islam dan al qur’an, dan tokohnya berasal dari Negara Jepang. Memang tidak banyak yang mengetahui bahwa islam telah menjadi popular dan banyak di pelajari Negara Negara di dunia. Jepang juga tidak lupu dari itu. Toshihiko Izutsu adalah salah satu yang ternama, dan kita akan membahasnya di makalah ini.

B.     Rumusan Masalah

1.      Siapakah Toshihiko Izutsu ?
2.      Apa pandangannya terhadap penafsiran Al-Qur’an ?

C.     Tujuan Penelitian

1.      Untuk mengetahui Toshihiko Izutsu
2.      Mengetahui Pandangannya sebagai seorang orientalis, terhadap pemahaman/ penafsiran Al qur’an.

D.     Metode Penelitian: Pustaka






E.      Pembahasan

Biografi Toshihiko Izutsu
Toshihiko Izutsu (4 May 1914 – 7 January 1993) adalah Profesor Emeritus di Keio University Jepang dan penulis banyak buku tentang Islam dan agama-agama lain. Beliau mengajar di Institut Kebudayaan dan Studi Linguistik di Universitas Keio di Tokyo, lembaga Filsafat Iran di Teheran, dan McGill University di Montreal, Kanada. Beliau fasih dalam lebih dari 10 bahasa, termasuk bahasa Arab, Persia, Sansekerta, Pali, Cina, Jepang, Rusia dan Yunani.
Beliau lahir pada 4 Mei 1914 dalam sebuah keluarga kaya di Tokyo, Jepang. Sejak usia dini, ia akrab dengan meditasi zen dan Koan, karena ayahnya juga seorang kaligrafer menganut Buddha Zen.[1]
Tetapi, dalam perjalanan hidupnya, Izutsu juga membaca karya-karya yang ditulis oleh ahli mistik Barat. Pengalaman inilah yang mengantarkan beliau pada pemahaman yang sangat bertentangan dengan keyakinan sebelumnya. Kalau masa mudanya ia asyik dengan spiritualisme Timur, kemudian beralih pada spiritualisme Barat dan mencurahkan perhatiannya pada kajian filsafat Yunani. Dari pengalaman berpikir tentang filsafat Yunani seperti Socrates, Aristoteles dan Plotinos, yakni sejenis mistisisme, ditemukan sumber pemikiran filsafat dan sekaligus sebagai kedalaman filsafatnya.
Bidang kegiatan penelitian Izutsu sangat luas yang meliputi filsafat Yunani kuno dan filsafat Barat Abad Tengah hingga mistisisme Islam Arab dan Persia, filsafat Yahudi, filsafat India, pemikiran Confusianisme, Taoisme China, dan filsafat Zen. Keluasaan pengetahuannya memungkinkan untuk melihat persoalan dari berbagai perspektif, sehingga akan melahirkan pandangan yang menyeluruh tentang suatu masalah[2]
Tafsir Semantik al-Qur’an
Pada era kontemporer, teori semantik dalam menafsirkan alQur’an ini pertama kali diaplikasikan oleh Toshihiko Izutsu. Izutsu mengatakan bahwa yang dimaksud semantik dalam hal ini adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian kenseptual pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu, tidak hanya sebagai alat bicara dan berpikir, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mengkonsepkan sesuatu dengan penafsiran yang melingkupinya.[3]
Semantik dalam pengertian ini adalah kajian tentang sifat dan struktur pandangan dunia (world view) suatu bangsa pada saat sekarang atau pada periode sejarahnya yang signifikan dengan analisis metodologis terhadap konsep-konsep pokok yang telah dihasilkan oleh bahasa tersebut21. Dalam ranah kajian tafsir, teks al-Qur’an tidak hanya ditempatkan sebagai teks ketuhanan yang profan dan mu’jiz, namun al-Qur’an juga merupakan teks sebagai alat komunikasi yang bisa dikaji secara ilmiah saintifik. Komunikasi antara Tuhan sebagai komunikator aktif, Nabi Muhammad sebagai komunikator pasif dan bahasa Arab sebagai kode komunikasi. Sebagai teks ilmiah, al-Qur’an tentu terbuka bagi siapapun untuk menelitinya, baik muslim maupun non-muslim dengan syarat adanya kapabilitas dalam penelitian al-Qur’an, seperti memahami bahasa Arab, Ulumul Qur’an maupun ilmu-ilmu yang terkait dengan penelitian tafsir. Sebagai ilmuwan yang ahli Bahasa, tentu saja Izutsu tidak bisa mengabaikan bahasa al-Qur’an yang terus berkembang sejak diturunkan hingga sekarang. Agaknya inilah yang coba dilakukan oleh Izutsu dengan semantik al-Qur’annya.[4]
Prinsip-Prinsip Metodologi Penafsiran Semantik Ala Toshihiko Izutsu
1.      Keterpaduan konsep-konsep individual
Keterpaduan konsep individual tampak mudah dengan membuka seluruh kata al-Qur’ān, semua kata penting yang mewakili konsepkonsep penting seperti Allāh, Islām, nabī, īmān, kāfir dan sebagainya. Selanjutnya konsep individual ini ditarik menjadi kata kunci. Namun kenyataannya adalah tidak mudah. Kata-kata atau konsep di dalam alQur’ān tidaklah sederhana. Apalagi susunan ayat al-Qur’ān tidak disusun secara sistematik, sehingga ayat yang sebelum dan sesudahnya tidak membicarakan satu persoalan. Kedudukannya masing-masing saling terpisah, tetapi sangat saling bergantung dan justru menghasilkan makna konkrit dari seluruh sistem hubungan itu. Sebagaimana diungkapkan oleh[5]
2.      Makna Dasar dan Relation
Izutsu bahwa kata-kata itu membentuk kelompok-kelompok yang beragam, besar dan kecil, dan berhubungan satu sama lain dengan berbagai cara, sangat kompleks dan rumit sebagai kerangka kerja gabungan konseptual. Dan sesuatu yang sangat penting bagi tujuan khusus kita adalah jenis sistem konseptual yang berfungsi dalam alQur’ān, bukan konsep-konsep yang terpisah secara individual dan dipertimbangkan terlepas dari struktur umum atau gestalt, di mana konsep-konsep tersebut dipadukan. Dalam menganalisis konsep-konsep kunci individual yang ditemukan di dalam al-Qur’ān kita bisa kehilangan wawasan hubungan ganda yang saling memberi muatan dalam keseluruhan sistemMakna dasar dan relational Untuk memahami keterpaduan konsep tersebut, diperlukan juga pemahaman makna masing-masing konsep dalam pengertian ‘dasar’ (basic) dan ‘relasional’ (relational). Makna dasar adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri, yang selalu terbawa di manapun kata itu diletakkan, sedangkan makna relasional adalah sesuatu yang bersifat konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi khusus dan dalam bidang khusus, berada pada hubungan yang berbeda dengan semua kata penting lainnya dalam sistem tersebut. Kedua makna tersebut merupakan kesatuan yang tak bisa dipisahkan, meskipun tidak jarang makna dasar dari sebuah
kosakata tidak lagi digunakan karena makna relasional dianggap sebagai makna sebenarnya dari sebuah kata. Masing-masing kata individu, yang diambil secara terpisah, memiliki makna dasar atau kandungan kontekstualnya sendiri yang akan tetap melekat pada kata itu meskipun ia diambil di luar konteks al-Qur’ān.[6]
3.      Weltanschauung
Dari uraian di atas, kosa kata mempunyai kedudukan yang sangat penting untuk memahami secara keseluruhan makna dan pesan dari kitab suci. Pada mulanya, kosa kata dianalisis untuk menafsirkan sebuah teks lebih dalam. Meskipun, arti kata atau etimologi dalam banyak teks tetap merupakan dugaan saja, dan sangat sering merupakan misteri yang tak terpecahkan.34 Dalam analisis Izutsu, pendekatan semantik bertujuan mencapai lebih dari sekedar menjelaskan arti harfiah, tetapi lebih jauh juga mengungkapkan pengalaman budaya. Akhirnya, analisis ini akan mencapai sebuah rekonstruksi tingkat analitik struktur keseluruhan budaya itu sebagai konsepsi masyarakat yang sungguh-sungguh ada. Inilah yang disebut Izutsu dengan Weltanschauung semantik budaya. Kata-kata dalam bentuk bahasa adalah suatu sistem jaringan yang rapat. Pola utama sistem tersebut ditentukan oleh sejumlah kata-kata penting tertentu. Kosakata dan bahasa dengan jaringan pola-pola konotatifnya pada dasarnya merupakan satu sistem dari bentuk-bentuk[7]
pengungkapan (articulatory) yang menurut sistem tersebut kata bersinggungan secara terus menerus dengan sejumlah kenyataan dan peristiwa tertentu. Dengan demikian, setiap kosa kata mewakili dan mewujudkan sebuah pandangan dunia yang khas (Weltanschauung) yang mengubah bahan pengalaman yang masih mentah ke dalam dunia yang
penuh makna ‘tertafsirkan’. Dengan kata lain, kosa kata dalam pengertian ini bukanlah merupakan susunan berlapisan tunggal.


Cara Kerja Semantik al-Qur’an
Berikut ini adalah prinsip-prinsip penelitian semantik al-Qur’an seperti yang telah dijelaskan oleh Izutsu;
 1. Istilah kunci, yang dimaksud Istilah kunci di sini adalah istilah yang membawahi kosakata di bawahnya sebagai medan semantik. Seperti kata
taqwa>, inti semantik dasar taqwa> pada zaman jahiliyah adalah sikap membela diri baik oleh binatang maupun manusia, untuk tetap hidup melawan sejumlah kekuatan destruktif dari luar. Kata ini kemudian masuk dalam sistem konsep Islam melalui al-Qur’an, dengan membawa makna itu sendiri disertai hubungannya dengan konsep yang lain. Taqwa> dalam konsep Islam erat kaitannya dengan kepercayaan religius dan mengerucut pengertiannya menjadi takut terhadap ancaman Tuhan sehingga meninggalkan hal-hal yang dilarang Tuhan serta menjalankan segala perintahny. Dari makna inilah kemudian taqwa mempunyai hubungan erat dengan iman, islam, ihsan dan shalih. Oleh karena itu taqwa dalam hal ini bisa menjadi kata kunci.[8]
2. Perhatian terhadap makna dasar (basic meaning) dan makna relasional
(relational meaning) kata. Makna dasar adalah makna yang nyata, jelas dan tetap melekat dalam kondisi apapun kata itu diletakkan dan digunakan, baik di dalam al-Qur’an maupun di luar al-Qur’an. Dalam studi linguistik makna dasar disebut juga makna leksikal. Sedangkan yang dimaksud makna relasional adalah makna yang muncul sebagai akibat dari proses gramatika, atau disebut juga makna gramatikal, namun makna relasional ini lebih umum daripada makna gramatikal itu sendiri

3. Integrasi antarkonsep Penelitian semantik berusaha mengaitkan satu konsep dengan konsep lain. Tujuannya adalah untuk mengetahui hubungan maknawi antara satu konsep dan konsep lain dan mengetahui posisi konsep yang dibahas dalam sistem konsep yang lebih luas serta untuk mendapatkan pemahaman secara komprehensif.[9]
4. Perhatian terhadap aspek-aspek sinkronik dan diakronik. Aspek sinkronik adalah aspek yang tidak berubah dari sebuah konsep atau kata, sedangkan aspek diakronik adalah aspek yang selalu berubah/berkembang dari satu masa ke masa yang lain. Perkembangan konsep dalam kajian al-Qur’an dimulai dari masa pra-Qur’anik (jahiliyah), berlanjut ke masa Qur’anik dan Pasca-Qur’anic. Untuk mengetahui makna sinkronik dan diakronik dalam kosakata yang digunakan al-Qur’an, terutama di masa pra-Qur’anik dapat menggunakan syair-syair atau ungkapan yang biasa digunakan orang Arab yang tersebar dalam kitab-kitab syair maupun melalui kamus-kamus. Sedangkan untuk masa Qur’anic dan pasca Qur’anik kita dapt menggunakan kitab-kitab asbab al-nuzul, tafsir dan literatur Islam lain seperti fiqh, teologi dan lain sebagainya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa bahasa adalah satu sistem dependent
(tergantung) atau berhubungan dengan kultur dan budaya penuturnya. Maka dengan meneliti semantik bahasa serta hal-hal yang melingkupinya, diharapkan dapat menemukan pandangan suatu teks (al-Qur’an) tentang ‘sesuatu’ (Being).[10]
Contoh Pendekatan Semantik dalam Kajian al-Qur’an
Bagi pemakalah, apa yang diushakan oleh Toshihiko merupakan terjemahan tindakan dari kaidah tafsir:  لا يجوز حمل ألفاظ الكتاب على اصطلاح حادث  (tidak diperkenankan membawa lafad-lafad al-Kitab al-Qur’an menuju pengertian bahasa kontemporer) serta beberapa kaidah lain yang berkaitan dengan bahasa. Dari sini kita, umat Islam, dapat mengapresiasi apa yang telah diusahakn oleh Toshihiko dalam memahami al-Qur’an.
Dalam bukunya, Toshihiko menjelaskan (tentu ini merupakan bagian dari “tafsir”) tentang term-term tentang “baik dan buruk” dalam al-Qur’an. Pertama pemakalah akan menyebutkan mengenai tafsir toshihiko pada term “kebaikan” atau al-Birr. Beliau menulis dalam menjelaskan makna semantik dari Birr, sebagai berikut:
Birr, yang artinya hampir sama dengan istilah shalih – walau tidak serupa – adalah kata birr, yang barangkali salah satu kata yang paing sukar dipahami dibandingkan dengan istilah-istilah moral lainnya dalam al-Qur’an. Namun, petunjuk penting untuk struktur semantik dasar dari kata ini dapat diperoleh bila kita membandingkannya dengan shalih. Sebagaimana yang kita ketahui, dalam semantik SLH kedudukan sangat penting diberikan kepada faktor-faktor yang berhubungan dengan keadilan dan cinta antara manusia. Dengan demikian –ambillah dua unsur yang mewakili – pengabdian kepada Allah dan memberi makan orang miskin di atas dasar pijakan yang hampir sama. Hal ini juga tak perlu mengherankan kita, karena al-Qur’an secara keseluruhan sangat memberi penekanan kepada keadilan dan cinta dalam perikehidupan social. Dengan kata lain, kesalahan tidaklah dapat terjadi bila kita mewujudkan keadilan dan rasa cinta kepada orang lain.
Kini kata birr memberikan penegasan lebih jauh kepada pandangan tersebut. Sebuah ayat yang amat penting dari surah al-Baqarah, memberikan definisi yang kontekstual tentang kata ini, paling tidak dalam kerangka pemikiran al-Qur’an yang umum.
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan (birr), akan tetapi Sesungguhnya kebajikan (birr) itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa (al-Baqarah, 177)
Pandangan yang sekilas terhadap unsur-unsur yang di sini disebutkan sebagai birr yang sesungguhnya membuat kita segera memahami bahwa kata itu hampir tidak dapat dibedakan sama sekali dengan salihat, atau iman yang sejati. Kita melihat betapa pada saat yang sama kata ini diterjemahkan dengan berbagai cara ke dalam bahasa Inggris. Istilah tadi sangat tepat diterjemahkan dengan “piety” (kesalehan), namun tidak pula kurang tepat bila disalin dengan “righteousness” (kebajikan, kebenaran, keadilan) atau “kindness” (kebajikan). Tetapi setiap terjemahan ini memiliki makna tersendiri, tidak ada kata yang tepat yang secara umum dapat meliputi semua pengertian dan bahkan barangkali masih terdapat makna lain dalm pengertian birr yang kompleks.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa Toshihiko sangat cermat dalam memberikan makna semantik pada konsep yang ia teliti. Hal ini semakin diperkuat dengan lanjutan dari pembahasan birr di atas. Ia melanjutkan dengan menyebutkan tentang bagaimana al-Qur’an memberikan aspek-aspek pengertian birr yang kompleks. Pertama mengenai hubungan birr dengan taqwa. Ia menyimpulkan bahwa birr adalah menunaikan segala kewajiban, bukan hanya menyangkut keagamaan namun juga sosial. Kesimpulan ini beliau dapat dari penelitian terhadap ayat-ayat yang menyebutkan birr dan taqwa, misalnya pada QS. Al-Baqarah (2): 189 dan lebih lagi dikokohkan bahwa al-birr adalah “ketaqwaan yang sungguh-sungguh” yaitu pada QS. Ali Imran (3): 92. Selanjutnya beliau kemukakan mengenai hubungan al-birr dengan ketaatan kepada ibu-bapak (QS. Maryam [19]: 14), serta al-birr dengan qist (QS. al-Mumtahanah [60]: 8).
Sedangkan pada saat menjelaskan konsep semantik dari fasad ia menulis:

Bahwa istilah fasad (atau kata yang berhubugan dengan kata kerja afsada) sangat komprehensif, yang mampu menunjukkan semua perbuatan buruk … dalam al-Qur’an kita menjumpai beberapa contoh penggunaan kata tersebut dalam konteks yang non-roligius. Misalnya dalam surah Yusuf, perbuatan mencuri mendapat julukan itu.
Saudara-saudara Yusuf menjawab: “Demi Allah sesungguhnya kamu mengetahui bahwa kami datang bukan untuk membuat kerusakan (nufisda, dari afsada) di negeri (ini). Dan kami bukanlah orang-orang mencuri” . (QS. Yusuf [12]: 73)
… sepintas dalam ayat lain, yang dapat dipandang dalam konteks religious menurut al-Qur’an, kata tersebut berarti melakukan kebiasaan liwat (sodomy) yang menjijikkan dan dikutuk.
Semakin jelas dari sini bagaimana Toshihiko merangkum semua faktor yang mengitari suatu konsep. Tidak hanya bagaimana bahasa memberikan makna pada suatu kata namun lebih lagi bagaimana al-Qur’an mengkhususkan penggunaan suatu kata. Hal ini akan, pada waktunya, menunjukkan betapa agung bahasa al-Qur’an itu.



وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ
Dan Sesungguhnya kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam, sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang. [11]

F.      Kesimpulan
Toshihiko Izutsu adalah seorang ahli orientalis yang menguasai banyak bahasa. Dalam menafsirkan al qur’an sekalipun, Toshihiko Izutsu menggunakan pendekatan yang sangat primer dari bahasa, dengan sebutan yang kita kenal belakangan adalah semantik.
Semantik merupakan unsur yang menjadi kajian dalm pembedahan tafsir mela lui jalur linguistgik, sesuatu yang sangat terlihat dan dekat kepada manusia, malah mungkin menyatu dengan kehidupan sehari hari. Toshihiko Izutsu dengan apik menafsirkan al qur’an secara objektif melalui kebahasaan yang memang menjadi penguasaannya. Toshihiko Izutsu selalu percaya bahwa bahasa mengandung kode masing masing yang berbeda dari masing masing tempatnya berasal, itulah sebabnya semantic menurutnya sangat tepat untuk menghasilkan tafsiran, tentunya jika menguasai bahasanya.











Daftar Pustaka
1. revolusimadrasah.blogspot.co.id/2015/08/biografi-toshihiko-izutsu-sang.html 
2. SEMANTIK AL-QUR’AN PERSPEKTIF TOSHIHIKO IZUTSU, PDF


[1] revolusimadrasah.blogspot.co.id/2015/08/biografi-toshihiko-izutsu-sang.html  diunduh pada jumat 28 10 2016 jam 13. 27 WIB
[2] SEMANTIK AL-QUR’AN PERSPEKTIF TOSHIHIKO IZUTSU, PDF
[3] Ibid,
[4] Ibid,

[5] Ibid,
[6] Ibid,
[7] Ibid,
[8] Ibid,
[9] Ibid,
[10]Ibid,

No comments:

Post a Comment