Sejarah
Perkembangan Kajian Hadis Islam di Indonesia pada Masa Awal - Indonesia adalah negara terbesar berpenduduk
Muslim di Dunia. Di Indonesia banyak lembaga pendidikan Islam, mulai dari
tingkat Taman Kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Demikian juga organisasi
Islam tersebar di seluruh nusantara. Selain itu, Indonesia juga memiliki
sejumlah ularna dan pemikir Islam sejak dahulu sampai sekarang. Hadis sebagai
bagian dari pangkal ajaran Islam di Indonesia otomatis ikut masuk bersamaan
dengan penyebaran agama Islam. Sementara itu, kajian Hadis tampak mengalami
ketertinggalan dalam perkembangannya dibanding dengan bidang-bidang kajian
Islam lainnya. Padahal, sebagai salah satu sumber pokok ajaran Islam umumnya
dan syariat khususnya, Hadis seharusnya menduduki posisi penting dalam kajian
Islam. Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Quran, Hadis tidak mungkin
terabaikan. Namun, kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa perkembangan kajian
Hadis di Indonesia mengalami ketertinggalan. Di samping itu, kajian-kajian
mengenai pembaharuan Islam di Nusantara dalam rentang abad 13-20 selama ini
sebagian besar terfokus pada bidang pendidikan secara umum, sementara kajian
mengenai hadis masih amat sangat jarang ditemukan. Karena itu, pengkajian
tentangnya kiranya perlu dilakukan.
Kajian Hadis di lndonesia masih
dalam permulaan. Hal ini tercermin dari keadaan karya-karya ilmiah, keberadaan
literatur Hadis, jumlah para sarjana dan pakar Hadis yang ada di tengah-tengah
masyarakat. Keterbatasan kajian Hadis di lndonesia juga tercermin pada metode
dan hasil penetapan hukum yang dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam dan
lembaga-Iembaga yang berkuasa memberikan fatwa. Pada abad XVII dan XVIII,
buku-buku tentang fiqh, tafsir, dan tasawuf yang menggunakan bahasa Indonesia
atau Melayu telah banyak beredar di Nusantara. Misalnya, di bidang fiqh, kitab
Mir’ât al-Tullâb karya Abdul Ra’uf al-Sinkili (w. 1693M)[1] yang ditulis pada
abad ke-17, Hidâyah 'Awwâm karya Syekh Jalaluddin yang ditulis pada tahun
1719,[2] Sabîl al-Muhtadîn karya Muhammad Arsyad al-Banjari (w. 1812M) yang
ditulis pada tahun 1778,[3] di bidang tasawuf Kifâyah al-Muhtâjîn karya Abd
al-Rauf al-Sinkili;[4] di bidang tafsir Tarjuman al-Mustafîd yang juga ditulis
Abd al-Rauf al-Sinkili.[5] Kitab-kitab tersebut merupakan contoh kecil dari
karya para ulama Nusantara. Karya-karya ini tidak menunjukkan satu pun dari
bidang Hadis atau ilmu Hadis.
Home » Kumpulan Makalah » Makalah Sejarah Perkembangan Kajian Hadis
Islam di Indonesia pada Masa Awal
Advertisement
Sejarah Perkembangan Kajian Hadis Islam di Indonesia pada
Masa Awal - Indonesia adalah negara terbesar berpenduduk Muslim di Dunia.
Di Indonesia banyak lembaga pendidikan Islam, mulai dari tingkat Taman
Kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Demikian juga organisasi Islam tersebar di
seluruh nusantara. Selain itu, Indonesia juga memiliki sejumlah ularna dan
pemikir Islam sejak dahulu sampai sekarang. Hadis sebagai bagian dari pangkal
ajaran Islam di Indonesia otomatis ikut masuk bersamaan dengan penyebaran agama
Islam. Sementara itu, kajian Hadis tampak mengalami ketertinggalan dalam
perkembangannya dibanding dengan bidang-bidang kajian Islam lainnya. Padahal,
sebagai salah satu sumber pokok ajaran Islam umumnya dan syariat khususnya,
Hadis seharusnya menduduki posisi penting dalam kajian Islam. Sebagai sumber
ajaran Islam kedua setelah al-Quran, Hadis tidak mungkin terabaikan. Namun, kenyataan
di Indonesia menunjukkan bahwa perkembangan kajian Hadis di Indonesia mengalami
ketertinggalan. Di samping itu, kajian-kajian mengenai pembaharuan Islam di
Nusantara dalam rentang abad 13-20 selama ini sebagian besar terfokus pada
bidang pendidikan secara umum, sementara kajian mengenai hadis masih amat
sangat jarang ditemukan. Karena itu, pengkajian tentangnya kiranya perlu
dilakukan.
Kajian Hadis di lndonesia masih dalam permulaan. Hal ini
tercermin dari keadaan karya-karya ilmiah, keberadaan literatur Hadis, jumlah
para sarjana dan pakar Hadis yang ada di tengah-tengah masyarakat. Keterbatasan
kajian Hadis di lndonesia juga tercermin pada metode dan hasil penetapan hukum
yang dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam dan lembaga-Iembaga yang berkuasa
memberikan fatwa. Pada abad XVII dan XVIII, buku-buku tentang fiqh, tafsir, dan
tasawuf yang menggunakan bahasa Indonesia atau Melayu telah banyak beredar di
Nusantara. Misalnya, di bidang fiqh, kitab Mir’ât al-Tullâb karya Abdul Ra’uf
al-Sinkili (w. 1693M)[1] yang ditulis pada abad ke-17, Hidâyah 'Awwâm karya
Syekh Jalaluddin yang ditulis pada tahun 1719,[2] Sabîl al-Muhtadîn karya
Muhammad Arsyad al-Banjari (w. 1812M) yang ditulis pada tahun 1778,[3] di
bidang tasawuf Kifâyah al-Muhtâjîn karya Abd al-Rauf al-Sinkili;[4] di bidang
tafsir Tarjuman al-Mustafîd yang juga ditulis Abd al-Rauf al-Sinkili.[5]
Kitab-kitab tersebut merupakan contoh kecil dari karya para ulama Nusantara.
Karya-karya ini tidak menunjukkan satu pun dari bidang Hadis atau ilmu Hadis.
Memang ditemukan sebuah kitab yang berjudul Kitâb al-Hadîs al-Musamma bi Syifâ' al-Qulûb yang ditulis ulama Aceh bemama Syekh Abdullah. Namun, ternyata kitab ini tidak membahas hadis-hadisnya dari aspek Hadis dan tidak pula membahas ilmu Hadis. Hadisnya ditulis tanpa sanad, tanpa rujukan sumber asli Hadis, dan orientasinya adalah tasawuf.[6] Dari data penelitian pada tahun 2005 terhadap manuskrip dan kitab-kitab lama di perpustakaan Ali Hasymy di Banda Aceh, ditemukan bermacam-macam tulisan di bidang fiqh, tasawur, tafsir, dan nahwu, tetapi tidak satu pun menyangkut Hadis. Sarjana Belanda, Kaarel Stembrink juga pernah mengatakan bahwa ketika melakukan penelitian tentang kitab-kitab Agama di Perpustakaan Nasional Jakarta, ia tidak menemukan satu pun kitab Hadis atau ilmu Hadis karya ulama Indonesia.[7] Namun demikian, sebagai sumber kedua hukum Islam sesudah aI-Quran, Hadis tidak mungkin diabaikan begitu saja. Dalam mengkaji apa pun di bidang agama, Hadis sekurang-kurangnya menjadi bagian dari bahasannya.
Sehubungan dengan latar belakang yang dipaparkan di atas,
maka perkembangan kajian Hadis perlu dikaji secara lebih luas. Dengan demikian,
masalah pokok dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana
sebenarnya perkembangan kajian Hadis di lndonesia dalam kurun abad XVII sampai
XIX? Hal apa yang melatarbelakangi ketersisihan kajian hadis dalam dunia
keilmuan Islam Indonesia abad XVII sampai XIX?
Kondisi Objektif yang Menyangkut Perkembangan Studi Hadis di
Indonesia
1. Situasi sosial-politik
Sumber dinamika Islam pada abad 17-18 adalah jaringan ulama
yang terutama berpusat di Makkah dan Madinah.[8] Hubungan antara kaum Muslim
Nusantara dan Timur Tengah pun telah terjalin sejak masa-masa awal Islam. Para
pedagang Muslim dari Arab, Persia dan Anak Benua India yang mendatangi
kepulauan Nusantara tak hanya berdagang, tetapi dalam batas tertentu juga
menyebarkan Islam kepada penduduk setempat.
Kemakmuran kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, terutama
dikarenakan hasil perdagangan rempah dan hasil bumi lainnya, memberikan
kesempatan bagi masyarakat Muslim Indonesia untuk melakukan perjalanan ke
pusat-pusat keilmuan dan keagamaan di Timur Tengah. Upaya Dinasti ‘Utsmani
mengamankan jalur perjalanan haji juga membuat perjalanan naik haji dari Nusantara
semakin baik.[9] Maka, tatkala hubungan ekonomi, politik, sosial-keagamaan
antarnegara-negara Muslim di Nusantara dengan Timur Tengah semakin meningkat
sejak abad XIV dan XV, kian banyak pula jama’ah haji sekaligus penuntut ilmu
dari Nusantara yang berangkat ke Tanah Arab dan mendatangi pusat-pusat keilmuan
Islam di sepanjang rute perjalanan haji. Hal ini yang mendorong munculnya
komunitas atau jaringan intelektual-keagamaan Ashâb al-Jawiyyîn,[10] sebutan
yang diberikan oleh sumber-sumber Arab bagi setiap orang yang berasal dari
Nusantara. Maka, dapat dipastikan bahwa para “Jawi” ini, sekembalinya ke tanah
air, menjadi pusat transmitter tradisi intelektual-keagamaan dari pusat-pusat
keilmuan Islam di Timur Tengah ke Nusantara. Mereka mengajar kepada masyarakat
sekitarnya mengenai ilmu-ilmu yang telah mereka pelajari di Tanah Suci.
Maka, Islamisasi Indonesia, pada hematnya, perlu dilihat
sebagai suatu proses yang telah berlangsung sejak abad ketiga belas dan masih
terus berlanjut sampai sekarang. Entah siapa yang pertama-tama membawa Islam ke
Indonesia –orang India, Arab atau Cina– yang jelas, bahwa sejak abad ketujuh
belas, peran utama dimainkan oleh orang Nusantara sendiri yang telah belajar di
Tanah Suci. Semua gerakan pemurnian dan pembaharuan di Nusantara, hingga awal
abad kedua puluh, bersumber dari Makkah dan Madinah.[11]
2. Pendidikan Islam
Meski agama Islam masuk ke Nusantara lewat jalan “damai”
(tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik), dengan adanya
kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha yang masih berkuasa dan berpengaruh di
Nusantara, maka penyebaran Islam sebelumnya dilakukan secara diam-diam dan
sembunyi-sembunyi. Seiring dengan surutnya kekuasaan kerajaan-kerajaan
tersebut, terutama Majapahit dan Sriwijaya, pemberian pendidikan agama (dalam
bentuk non-formal) mulai dilakukan secara lebih terang-terangan dan intens.
Kuat dugaan, pada zaman peralihan dan kebebasan inilah mulai munculnya sistem
pendidikan pondok atau pesantren, yang dimulai oleh Sunan Ampel dan Sunan Giri,
yang menghimpun santri-santri untuk diajarkan agama Islam.[12] Dapat diketahui
pada abad XVII, di Jawa Tengah terdapat Pesantren Sunan Bonang, Sunan Ampel di
Surabaya, Sunan Giri di Sidomukti Giri, dan sebagainya.[13] Pada masa jauh
sebelum itu ternyata telah ada pesantren di Hutan Glagah, selatan Jepara, yang
didirikan oleh Raden Fatah pada 1475 M.[14]
Perkembangan pendidikan Islam di Jawa pada khususnya mencapai
puncaknya pada zaman kejayaan Kerajaan Islam Demak, sekitar abad XV. Mulai
periode Demak, penyebaran Islam mulai mendapat legitimasi dari pemerintah atau
penguasa, sebab Sultan beserta segenap keluarganya yang telah memeluk Islam
telah membuat penyebaran agama secara lebih luas kepada masyarakat menjadi
lebih mudah.[15]
Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, sebagai
salah satu pusat perdagangan tersibuk kala itu dan daerah yang pertama sekali
menerima agama Islam tentunya telah jauh lebih maju dalam hal pengajaran
Islam-nya. Bahkan kerajaan Islam pertama di Nusantara berdiri di sini, yakni
Pasai. Aceh terkenal dengan para ulama besarnya dan tempat berguru para kiai
sebelum pergi menunaikan ibadah haji, karena itu Aceh sering digelari Serambi
Mekkah. Di Aceh hidup Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Nuruddin
Ar-Raniri, Abdul Ra’uf Al-Sinkili, dan lainnya. Dari Acehlah mulai ditulis
sastra keagamaaan Islam dalam huruf Jawi berbahasa Melayu dan tersebar ke
berbagai daerah Indonesia: Sumatra, Bima, Maluku, Sulawesi-Buton, Kalimantan,
Banten, Cirebon dan lainnya.
Adapun pada zaman rezim kolonialis Hindia Belanda, Pemerintah
Belanda berupaya sangat keras dalam membatasi laju penyebaran Islam di
Indonesia, antara lain dengan jalan menghalangi masuknya buku-buku atau
brosur-brosur dari luar ke wilayah Indonesia, mengawasi kontak-kontak langsung
dan tidak langsung tokoh-tokoh Islam Indonesia dengan tokoh luar, membatasi dan
mengawasi orang-orang yang pergi ke Makkah, dan lain-lain.[16] Akan tetapi,
upaya tersebut tak sepenuhnya berhasil. Banyak tokoh-tokoh Muslim yang
mendapatkan, buku, majalah atau brosur dari Timur Tengah. Jumlah jama’ah haji
Indonesia tetap melimpah. Politik Pendidikan yang dijalankan oleh Pemerintah
Belanda (menomorsatukan putra-putra pejabat dan pembesar, sebaliknya membatasi
pendidikan bagi pribumi, justru menggiring putra pribumi pergi menuntut ilmu ke
pondok/pesantren. Pada masa ini, pesantren-pesantren di Nusantara dijadikan
sebagai tempat pertahanan bagi pribumi dalam melawan penjajah. Para santrinya
selain diberikan pendidikan Islam, juga dilatih menjadi pejuang-pejuang yang
handal.
Federspiel menambahkan, bahwa pada masa-masa kekuasaan
Belanda, kajian hadis belum dibicarakan sebagai disiplin ilmu yang berdiri
sendiri. Pada masa itu pembicaraan hadis masih merupakan bagian dari disiplin
ilmu Islam lain, semisal fiqh.[17]
Dapat kita amati bahwa dalam kurun waktu abad XVII sampai
XIX, pendidikan Islam masih diberikan dalam bentuknya yang paling sederhana dan
belum tersistematisasi. Tidak ditemukan data yang cukup representatif mengenai
kurikulum pengajaran ajaran Islam yang diberikan. Pembelajaran hadis dan ulumul
hadis secara mendalam dan formal pun kiranya belum dilakukan.
Tokoh-Tokoh Nusantara yang Berperan dalam Perkembang Hadis
Islam di Indonesia
a. Nuruddin al-Raniri (w. 1068 H/ 1658 M)
Beliau ialah tokoh Muslim kelahiran Ranir, kota pelabuhan tua
di pantai Gujarat, yang termasuk salah satu dari deretan panjang jaringan ulama
abad XVII. Periode sebelum kedatangan al-Raniri ke Aceh adalah masa dimana
Islam mistik, terutama dari aliran Wujudiyyah (penganut fanatik faham Wihdat
al-Wujud), berjaya bukan hanya di Aceh tetapi juga di banyak bagian lain di
Nusantara, dengan Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani[18] sebagai dua
tokoh yang memainkan peranan penting dalam membentuk pemikiran dan praktik
keagamaan Muslim Indonesia pada paruh pertama abad XVII. Kedatangannya ke Aceh
membawanya kepada jabatan Syaikh al-Islam di Kesultanan Aceh. Dengan posisinya
yang kuat di Kesultanan, ia kemudian dengan keras melancarkan
hujatan-hujatannya akan paham Wujudiyyah yang telah beredar lama di masyarakat.
Tak hanya itu, iapun mulai memerintahkan perburuan orang-orang yang dianggap
sesat serta membakar habis buku-buku yang dianggap menyesatkan. Tindakan
ekstrimnya itu membuatnya hanya dapat bertahan selama tujuh tahun di Kesultanan.
Ia kembali ke Ranir dan menetap disana hingga akhir hayatnya.[19]
Dari sepak terjang yang dilakukannya, amat terlihat bahwa
al-Raniri memberikan porsi yang lebih dalam pengkajian tasawuf. Hal ini mungkin
dikarenakan adanya asumsi dalam dirinya bahwa salah satu masalah dasar di
kalangan kaum Muslim Indonesia adalah aqa’id. Ia merupakan sosok yang ulama
yang produktif, terbukti menurut berbagai macam sumber, ia menulis tak kurang
dari 29 karya,[20] yang memang kebanyakan membicarakan tentang tasawuf
dan kalam. Melalui karyanya Shirâth al-Mustaqîm, semacam buku pegangan standar
pertama karya Muslim Melayu mengenai syari’at dan fiqh yang mendasar, ia
menunjukkan kepeduliannya dalam kajian fiqh. Menurut al-Raniri, penerapan
syari’at tidak dapat ditingkatkan tanpa pengetahuan lebih mendalam mengenai
hadis Nabi. Karena itu ia menulis Hidâyat al-Habîb fî al-Targhîb wa al-Tartîb,
sekumpulan hadis yang diterjemahkannya dari bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu
agar Muslim Melayu-Indonesia mampu memahaminya dengan benar.[21] Dalam karyanya
ini, ia memadukan hadis-hadis dengan ayat-ayat al-Qur’an untuk mendukung
argumen-argumen yang melekat pada hadis.[22]
b. Abdul Ra’uf al-Sinkili (1024 H/ 1615 M)
Dalam konteks pertumbuhan intelektualisme pesantren di
daratan Melayu sekitar abad ke-17, peranan Syekh ‘Abd Al-Ra’uf Al-Sinkili dapat
dibilang sangat menonjol. Momentum pembaharuan intelektualisme Islam Al-Sinkili
dilakukan setelah ia pulang ke Aceh sekitar 1584 H/1661 M dari pengembaraannya
di Arabia selama 19 tahun. Di mana ketika itu, aura pembaharuan di tanah
Melayu-Nusantara yang dirintis Al-Raniri tengah mengalami kemunduran politis
sejak ia digeser oleh Sayf Al-Rijal, salah seorang pengikut Syam Al-Din
Al-Sumatrani dan meninggalkan Aceh menuju ke kota kelahirannya, Ranir, pada
1054 H/1644-1645 M. Dalam konteks ini, determinasi pembaruan Al-Sinkili
ditekankan pada upaya rekonsiliasi, memadukan secara simfoni implementasi
antara syariah dan tasawuf.
Dari perantauannya di Timur Tengah, dapat dipastikan bahwa ia
telah masuk secara langsung ke dalam jaringan intelektual ulama di Timur
Tengah. Dari deretan panjang nama guru-gurunya di Haramain, yang “mumpuni”
konsen terhadap hadis adalah antara lain al-Sinnâwî, al-Qusyâsyî dan al-Kûranî.
Dari al-Qusyâsyî, ia mempelajari “ilmu-ilmu dalam” (‘ilm al-bathin), seperti
tasawuf, kalam, dan lainnya. Sedang dari Ibrahim al-Kûranî, al-Sinkili, di
samping mewarisi intelektualitas keislaman al-Kûranî juga mewarisi
kepribadiannya sebagaimana tercermin dalam karya-karyanya. Dengan kata lain,
bagi Al-Sinkili, al-Qusyâsyî adalah guru spiritual dan mistisnya, sementara
al-Kûranî lebih menjadi guru intelektualnya.[23]
Akan halnya al-Raniri, al-Sinkili juga merupakan sosok yang
sangat produktif. Karya-karyanya di berbagai bidang tentu tak dapat diabaikan.
Dalam bidang tafsir, ia menulis Tarjuman al-Mustafîd, karya yang disinyalir
sebagai produk kitab tafsir pertama yang ditulis oleh orang Melayu-Indonesia.
Dalam bidang fiqh, karya utamanya adalah Mir’at al-Thullâb, karya yang ditulis
atas permintaan Sultanah Safiyyatuddin.[24] Mengenai karyanya dalam ranah
mistis, Kifayat al-Muhtajin ila Masyrab al-Muwahhidin al-Qa’ilin bi Wahdat
al-Wujud,[25] yang merupakan penolakannya terhadap paham Wujudiyyah yang kala
itu tengah marak berkembang dan diyakini masyarakat Muslim Nusantara secara
luas.
Sementara itu, sejauh yang bisa diketahui dalam bidang hadis,
beliau menulis dua karya. Yang pertama adalah penafsiran mengenai Hadis Arba’in
karya al-Nawawi, yang ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddîn. Koleksi
kecil hadis yang menyangkut kewajiban-kewajiban dasar dan praksis bagi Muslim
ini, jelas ditujukan bagi masyarakat awam, bukan bagi para ahli yang mendalami
ilmu agama. Yang kedua adalah Al-Mawâ’izh Al-Badî’ah, sebuah koleksi hadis
qudsi. Di dalamnya, ia mengemukakan ajaran-ajaran mengenai Tuhan dan
hubungan-Nya dengan ciptaan-Nya, surga dan neraka, serta cara-cara yang layak
bagi kaum Muslim untuk mendapatkan ridha Tuhan.[26] Al-Sinkili juga menjadikan
Syarh Shahîh Muslim karya al-Nawawi sebagai salah satu rujukan penting dalam
menyusun kitab fikih yang berjudul Mir’at al-Thullâb.[27] Karya-karya
Al-Sinkili ini pada dasarnya mencerminkan perhatiannya yang sungguh-sungguh
terhadap kaum Muslim yang masih awam, yakni mengajak mereka menuju pemahaman lebih
baik atas ajaran-ajaran Islam.[28]
Karya dua ulama di atas cenderung lebih diarahkan pada
pembinaan praktek keagamaan, terutama fiqh dan akhlak, daripada kepada
penelitian keotentikan nilai hadis-hadis yang dipergunakan. Hal ini menunjukkan
bahwa pada masa itu, kajian ilmu mushthalah hadis belum mendapat perhatian yang
besar dari ulama Nusantara.[29] Kritik terhadap keotentikan hadis baru muncul
dan berkembang pada paruh terakhir abad XX, setelah Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya, dan seiring dengan berdirinya sejumlah Perguruan
Tinggi-Perguruan Tinggi Islam di berbagai kota di Tanah Air.
c. Mahfuz al-Tirmasi (w. 1919/ 1920 M)
Beliau merupakan seorang kiai yang dikenal dengan sebutan
Kiai Mahfuz Tremas. “Al-Tirmasi” sendiri, menurut para kiai di berbagai
pesantren, diambil dari kata Tremas, sebuah nama desa di Kabupaten Pacitan.[30]
Beliau tercatat sebagai ulama yang menulis kitab Manhaj Dhawi al-Nazhâr, sebuah
syarh kitab nazham yang ditulis oleh Jalaluddin al-Suyuthi, berjudul Alfiyyât
li al-Suyûthi. Selain mensyarahinya, ia juga memberikan tambahan berupa 20 bait
syair.[31] Hal ini dikarenakan menurutnya, kitab yang diakui oleh Suyuthi
berisikan 1000 bait syair, dalam perhitungannya hanya terdapat 980 bait saja.
Langkah beliau ini selanjutnya diikuti oleh para kiai dan ulama di
pesantren-pesantren lain, semisal KH. Hasyim Asy’ari di Jombang.[32]
d. Muhammad Thahir bin Ali al-Fatani
Ulama asal Patani, Thailand Selatan ini diklaim oleh Shaghir
Abdullah, cucu Ahmad Zayn al-Abidin al-Fatani –seorang ulama fatani terkemuka–
sebagai salah satu ulama Patani awal yang paling terkenal. Akan tetapi, banyak
pihak yang lebih memilih untuk mengingkarinya, sebab banyak fakta historis yang
tidak mendukung akan kebenarannya.[33] Meski begitu, ia adalah serang pengarang
buku ulung yang menulis buku terkenal Tadzkirah al-Mawdhû’ât. Ini adalah
satu-satunya karya abad itu yang membahas tentang pemalsuan hadis, yang sejauh
ini dapat ditemukan.[34]
Kecenderungan Intelektual dan Praksis Islam Indonesia
Lewat pembacaan singkat dua tokoh pertama di atas serta
situasi sosial-keagamaan yang melingkupi mereka, dapat dipahami bahwa para
ulama sepanjang abad XVII memiliki kecenderungan berorientasi pada
kajian-kajian tasawuf dan tarekat ketimbang syari’at. Hal ini dapat dipahami
karena “trend” keilmuan yang tengah berkembang di kawasan Timur Tengah saat itu
adalah tasawuf. Maka tak diragukan lagi, ulama-ulama Nusantara yang menjadikan
Makkah dan Madinah sebagai pusat aktivitas intelektual pun cenderung mengikuti
alur pemikiran gurunya, meski tak dipungkiri bahwa banyak diantara mereka yang
memiliki kompetensi mengagumkan dalam bidang hadis. Akan tetapi, kecenderungan
tersebut lambat laun bergeser, seiring dengan hasrat para ulama akan kebutuhan
pembaharuan dan pemurnian kembali ajaran agama Islam, akibat merajalelanya
paham tasawuf eksesif dan spekulatif pada masa itu. Belum lagi beragam corak
tarekat yang tengah berkembang kala itu, sebut saja Sammaniyah, Khalwatiyah,
Syattariyah, Asy’ariyah, Qadariyah, dan lainnya, yang menjadikan kajian hadis
di Indonesia kala itu menjadi semakin tersisihkan. Al-Raniri dengan Shirâth
al-Mustaqîmnya, Al-Sinkili dengan Mir’at al-Thullâbnya, merupakan sekelumit
usaha dari para ulama abad itu untuk menyeimbangkan dan mengharmonisasikan
antara syari’at dengan tasawuf.
Adapun para ulama sepanjang abad XVIII dan XIX terus
menunjukkan sejumlah besar kecenderungan yang serupa dengan kecenderungan-kecenderungan
masa sebelumnya. Sementara tekanan pada telaah hadis berlanjut, rekonsiliasi
antara syariat dan tasawuf secara progresif memperoleh landasan yang kian kuat.
Suatu perkembangan yang mencolok dari abad kedelapan belas adalah bahwa banyak
ulama terkemuka yang menekankan rekonsiliasi diantara keempat mazhab fiqh.[35]
Lebih jauh, terdapat pula kecenderungan para ulama untuk
lebih mempurifikasi ajaran agama Islam. Sebagian dari mereka ternyata percaya
bahwa pembaharuan keagamaan tidak boleh dibatasi pada rekonsiliasi syari’at,
tasawuf dan mazhab-mazhab hukum semata, akan tetapi juga harus mencakup
pemurnian praktik-praktik keagamaan.[36]
Maka, sekalipun sejumlah karya dalam bidang hadis sudah
ditemukan sejak abad ke-17, kajian hadis tidaklah begitu populer pada masa-masa
sebelum abad ke-20. Meski menurut Azyumardi Azra abad XVII dan XVIII merupakan
salah satu masa yang paling dinamis dalam sejarah sosial-intelektual kaum
Muslim,[37] pembaruan pada abad ke-17 belum cukup membawa pergeseran perhatian
kaum Muslim yang lebih besar kepada hadis. Barulah pada abad ke-20, munculnya
pembaruan akibat dampak modernisme dengan slogannya “kembali kepada al-Qur’an
dan sunnah” menandai munculnya perhatian yang cukup besar pada hadis.
Selain itu, seperti terlihat dalam uraian sebelumnya, kajian hadis masih
dilakukan oleh pribadi-pribadi, dan belum menjadi bahan kajian di
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bersifat formal.[38]
Kesimpulan
Pada kurun abad XVII sampai XIX, kajian akan Hadis masih amat
jauh tertinggal jika dibandingkan dengan disiplin ilmu keIslaman lainnya. Hadis
pada abad ini hanya merupakan bagian dari pembahasan bidang keIslaman lainnya.
Tak heran jika karya-karya di bidang inipun masih amat jarang dijumpai. Sejauh
pembacaan penulis, hanya terdapat sekurang-kurangnya lima karya ulama Nusantara
terkait bidang hadis, dan itupun hampir keseluruhannya berasal dari Tanah Aceh.
Dan karya-karya inipun terbengkalai selama hampir satu setengah abad, hingga
akhir abad XIX sampai awal abad XX, yakni pada masa pembaharuan Islam dilakukan
secara besar-besaran oleh para ulama Nusantara.
Ketertinggalan ini antara lain dikarenakan kecenderungan para
ulama terhadap kajian-kajian tasawuf dan syari’at lebih dominan ketimbang
kajian hadis. Pengajaran hadis pun masih “tercecer”, belum tersistematisasi dan
terformalisasi dengan baik.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di
Indonesia. Bandung: Mizan. 1994.
Huda, Syamsul. “Perkembangan Penulisan Kitab Hadis pada Pusat
Kajian Islam di Nusantara pada Abad XVII, dalam Jurnal Penelitian UNIB, vol.
VII, no. 2, Juli 2001.
Maswardi, “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam di Nusantara
pada Masa Awal sampai sebelum Kemerdekaan”, dalam Samsul Nizar (ed.), Sejarah
Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai
Indonesia. Jakarta: Kencana. 2007.
Nata, Abuddin. Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik
dan Pertengahan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2004.
Razyad, Aminuddin dan Baihaqi AK (ed.), Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia. Jakarta: DEPAG RI. 1986.
Tasrif, Muhammad. Kajian Hadis di Indonesia: Sejarah dan
Pemikiran. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press. 2007.
Van Bruinessen, Martin. Kitab Kuning, Pesanten dan Tarekat:
Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan. 1995.
Wahid, Ramli Abdul. “Perkembangan Kajian Hadis Di Indonesia:
Studi Tokoh Dan Organisasi Masyarakat Islam, dalam Jurnal Al-Bayan vol. 4 tahun
2006.
Ya’qub, Ali Mustafa. Islam dan Masa Kini. Jakarta: Pustaka
Firdaus. 2001.
[1] Buku ini telah dicetak di dalam kumpulan sejumlah kitab
karya ulama Aceh yang berjudul Jam ' al-Jawâmi’ al-Mushannafât oleh penerbit
Musthafa Bâb al-Halabi, tanpa tahun terbit. Lihat: Ramli Abdul Wahid,
“Perkembangan Kajian Hadis Di Indonesia: Studi Tokoh Dan Organisasi Masyarakat
Islam”, dalam Jurnal Al-Bayan vol. 4 tahun 2006, hlm. 64.
[2] Buku ini juga telah dicetak di dalam kumpulan sejumlah
kitab karya ulama Aceh yang berjudul Jam ' al-Jawâmi’ al- Mushannafât oleh
penerbit Musthafa Bâb al-Halabi, tanpa tahun terbit. Lihat: Ramli Abdul Wahid,
“Perkembangan Kajian Hadis Di Indonesia ..., hlm. 64.
[3] Buku ini telah beberapa kali cetak ulang, diantaranya
dicetak oleh PT. Karya lnsan Indonesia, Jakarta, tanpa tahun terbit. Lihat:
Ramli Abdul Wahid, “Perkembangan Kajian Hadis Di Indonesia ..., hlm. 64.
[4] Kitab ini membicarakan secara ringkas tentang ilmu
tasawuf. Lihat: Ramli Abdul Wahid, “Perkembangan Kajian Hadis Di Indonesia ...,
hlm. 64.
[5] Upaya penulisan kitab tafsir telah dilakukan oleh ulama
Indonesia. Pada Abad XVII, 'Abdul Ra'uf al-Sinkili menulis scbuah kitab tafsir
yang berjudul Tafsîr Tarjuman al-Mustafîd. Kitab ini diidentifikasi sebagai
kitab tafsir pertama di Nusantara. Kitab ini telah mengalami beberapa kali
cetak ulang. Cetakan pertamanya pada tahun 1884 di Konstantinopel. Lihat: Ramli
Abdul Wahid, “Perkembangan Kajian Hadis Di Indonesia ..., hlm. 64.
[6] Ramli Abdul Wahid, “Perkembangan Kajian Hadis Di Indonesia
..., hlm. 65.
[7] Ramli Abdul Wahid, “Perkembangan Kajian Hadis Di
Indonesia ..., hlm. 65.
[8] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah ..., hlm. 16.
[9] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah ..., hlm. 17.
[10] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah ..., hlm.
17.
[11] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesanten dan
Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 47.
[12] Lihat Aminuddin Razyad dan Baihaqi AK (ed.), Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: DEPAG RI, 1986), hlm. 8-11.
[13] Maswardi, “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam di
Nusantara pada Masa Awal sampai sebelum Kemerdekaan”, dalam Samsul Nizar (ed.),
Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah
sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 310.
[14] Maswardi, “Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam..., hlm.
310.
[15] Aminuddin Razyad dan Baihaqi AK (ed.), Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia ..., hlm. 13.
[16] Lihat Aminuddin Razyad dan Baihaqi AK (ed.), Sejarah
Pendidikan Islam ..., hlm. 17-19.
[17] Muhammad Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia ..., hlm. 19.
[18] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah ..., hlm.
166.
[19] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah ..., hlm.
177.
[20] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah ..., hlm.
180.
[21] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah ..., hlm.
186. Lihat juga Muhammad Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia: Sejarah dan
Pemikiran (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2007), hlm. 18.
[22] Muhammad Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia ..., hlm. 18.
[23] Lihat: Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah ...,
hlm. 194-196.
[24] Bacaan lanjut lihat: Voorhoeve, Bayân Tajallî:
Bahan-Bahan untuk Mengadakan Penyelidikan lebih Mendalam tentang Abdurra’uf
Singkel, terj. Aboe Bakar (Banda Aceh: PDIA, 1980).
[25] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah ..., hlm.
206. Bacaan lanjut: Voorhoeve, Bayân Tajallî, hlm. 44.
[26] Syamsul Huda, “Perkembangan Penulisan Kitab Hadis pada
Pusat Kajian Islam di Nusantara pada Abad XVII, dalam Jurnal Penelitian UNIB,
vol. VII, no. 2, Juli 2001, hlm. 112.
[27] Muhammad Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia ..., hlm. 18.
[28] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah ..., hlm.
205.
[29] Muhammad Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia ..., hlm. 19.
[30] Muhammad Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia ..., hlm. 19.
Lihat juga: Ali Mustafa Ya’qub, Islam dan Masa Kini (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), hlm. 38.
[31] Muhammad Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia ..., hlm. 19.
Lihat juga: Ali Mustafa Ya’qub, Islam dan Masa Kini ..., hlm. 39-40.
[32] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan
Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 29,
31, 39, 135.
[33] Lihat: Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah ...,
hlm. 257-260.
[34] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah ..., hlm.
259.
[35] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah ..., hlm.
163.
[36] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah ..., hlm.
163.
[37] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah ..., hlm.
16.
[38] Muhammad Tasrif, Kajian Hadis di Indonesia ..., hlm. 20.
Makalah Sejarah Perkembangan Kajian Hadis Islam di Indonesia pada Masa Awal ditulis oleh Lina
AddThis Sharing Buttons
Share to FacebookShare to WhatsAppShare to Google+Share to
TwitterShare to PinterestShare to Lagi...
Related Posts :
- Ketentuan Umum Zakat Fitrah Menurut Al-Qur'an dan Hadis A. Pengertian Zakat Fitrah Kata zakat secara etimologi (asal kata) berarti suci, berkembang dan barokah. Beberapa arti ini memang s… Read More...
- Makalah Perkembangan Islam pada Masa Abbasiyah Bidang Pendidikan Makalah Perkembangan Islam pada Masa Abbasiyah Bidang Pendidikan - Istilah peradaban Islam merupakan terjemahan dari kata Arab, yaitu al-Ha… Read More...
- Makalah Sejarah Perkembangan Kajian Hadis Islam di Indonesia pada Masa Awal Sejarah Perkembangan Kajian Hadis Islam di Indonesia pada Masa Awal - Indonesia adalah negara terbesar berpenduduk Muslim di Dunia. Di Indo… Read More...
- Makalah Filsafat Pengertian Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani Makalah Pengertian Epistemologi bayani, ‘irfani dan burhani - “Filsafat jika ditelisik menurut tahapannya, yaitu : ontologi (apa), epistimo… Read More...
- Contoh Makalah Kajian Hadis Agama Islam Makalah Kajian Hadis Pendidikan Agama Islam - Sebagai upaya aktualisasi nilai-nilai Islam dengan merujuk pada al-sunnah al-Nabawiyyah sebag… Read More...
Advertisement
Sedang Cari Artikel?
Jika Anda sedang mencari artikel dengan kategori tertentu
silahkan klik Halaman Ini
About US | © 2015 Khutbah
Jumat | Ceramah Agama
Privacy | Powered by Blogger.com
No comments:
Post a Comment